Disusun oleh:
Nizar Maulana Rifan 2013130006
Deny Rianzah Rojudin 2013130008
Rati Devianasari 2013130073
Virliana 2013130090
Agustin Ratna Sari 2014230103
Esiviana Eka Suci 2014230104
Zahira Nada Firas 2014230111
Fenny Deskintani 2014230112
Elveni Zarima 2014230118
Dekki Nur Hidayat 2014230119
Martha Maghfiroh 2014230121
Dede Ayu Putri 2014230122
Mazayu Adliah 2014230123
Umia Nurmalani 2014230124
Amos Ivan 2014230128
Adriana Rahmawati 2014230142
Gary Izack Lekahena 2015230056
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Diplomasi berasal dari bahasa Yunani, diploun
yang memiliki arti adalah sebuah kertas yang dilipat dan di desain sebagai
dokumen resmi negara, dokumen sejarah, sebuah sertifikat perundingan,
kewenangan dan semacamnya. Diplomasi erat kaitannya dengan negara sebagai salah
satu instrumen penting dalam pelaksanaan politik luar negeri.
Menurut Ellis Briggs (1968) menjelaskan bahwa diplomasi
adalah sebuah kegiatan urusan official dengan cara mengirim seseorang untuk
mewakili pemerintahan. Tujuan diplomasi adalah untuk menciptakan persetujuan
dalam kacamata kebijakan.
David W. Ziegler (1984: h. 272) menekankan
bahwa diplomasi merupakan mesin atau alat politik luar negeri sebuah negara.
Pentingnya diplomasi ini sangat vital dalam mengkomunikasikan sesama negara–negara
dunia untuk menjaga perdamaian dunia. Karena memang salah satu faktor pecahnya
perang (war) dikarenakan tidak adanya komunikasi antar negara yang bertikai,
seperti kasus perang dunia.
Diplomasi dilakukan untuk menjalin, mempererat dan
meningkatkan hubungan antara suatu negara dengan negara lain guna mencapai
kepentingan bersama, dengan cara mengutus seorang perwakilan negara atau
diplomat. Di dalam proses diplomasi juga terdapat komunikasi yang terjadi di
antara para perwakilan negara. Komunikasi merupakan proses penyampaian isi
pernyataan dari komunikator kepada komunikan dengan tujuan komunikan atau
target dapat mengerti dan memahami maksud dan dari komunikator. Oleh karena itu, diplomasi dan
komunikasi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena perwakilan
negara atau diplomat dituntut untuk dapat memiliki kemampuan komunikasi yang
baik sehingga tujuan yang dibawa oleh perwakilan negara tersebut dapat tercapai
demi kebaikan bersama tanpa membuat adanya salah satu pihak yang merasa
dirugikan.
Berdasarkan ruang lingkupnya, diplomasi diciptakan untuk dapat
menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan negara melalui
negosiasi yang sukses. Dengan menggunakan berbagai macam pilihan cara
berdiplomasi seperti melalui kerjasama, penyesuaian serta pertentangan.
Pertentangan dengan cara menunjukan kekuatan atau perang merupakan pilihan
terakhir dari proses diplomasi apabila negosiasi yang dilakukan tidak berhasil.
Dalam diplomasi juga terdapat perundingan, perjanjian dan
persetujuan serta proses-proses saat berlangsungnya kegiatan diplomasi
berlangsung. Untuk mengetahui lebih lanjut, penulis berusaha untuk menjelaskan
satu persatu mengenai bahasan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. TAHAP PERUNDINGAN DIPLOMASI
Negosiasi merupakan upaya oleh dua orang atau kelompok
yang sedang dalam perselisihan untuk mencapai solusi yang diterima
masing-masing pihak. Kaitannya dengan diplomasi, negosaisi merupakan salah satu
teknik untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan mampu memajukan
kepentingan nasional. Solusi terbaik dari proses negosiasi ini adalah win-win
solution dimana kesemua pihak merasa puas dengan hasil yang didapat. Untuk
mencapai hal ini, dibutuhkan adanya tahap-tahap yang mengikuti alur proses
negosiasi itu sendiri.
Pertama adalah tahap persiapan, yakni tahap terpenting
yang harus dipersiapkan seorang negosiator karena dalam tahap ini dapat
menentukan 80% faktor keberhasilan negosiasi (Susilo, 2014). Selanjutnya adalah
tahap perundingan yang dibagi lagi kedalam tiga proses yakni presentasi,
pembahasan, dan bargaining. Kemudian hasil dari tahap perundingan dapat dilihat
di tahap closure yang menghasilkan output yang bervariasi bergantung pada
kelihaian negosaitor dalam tahap-tahap sebelumnya. Pada tulisan kali ini,
penulis akan menjelaskan tahap perundingan dan output dari negosiasi.
Tahap perundingan diawali dengan tahap presentasi yang
dilakukan oleh negosiator untuk menjelaskan posisi, power, kepentingan, serta
harapan mereka terhadap permasalahan yang dihadapi (Susilo, 2014). Pada fase
ini, negosiator akan mengelaborasi informasi yang telah didapatkan sebelumnya
dalam rangka mendukung posisi mereka. Tahap ini menjadi penting karena
negosiator akan menjelaskan pokok persoalan dari sudut pandang mereka.
Presentasi harus dilakukan dengan jelas dan tegas untuk menyatakan posisi
masing-masing pihak. Dalam halnya, masing-masing pihak harus mendengarkan
secara seksama tanpa adanya interupsi atau penghakiman dalam tahap ini.
Body
Language juga menjadi aspek
penting, tidak hanya dalam tahap presentasi namun dalam tahapan selanjutnya
seperti pembahasan, bargaining, hingga closure. Bahasa tubuh akan menggambarkan
integritas negosiator dalam menjalin hubungan dengan yang lain. Penggunaan eye-contact, cara berbicara, cara
berdiri, hingga gaya presentasi akan memberikan bentuk gambaran terhadap image
yang akan dibangun oleh negosiator. Image tersebut tidak selalu bersifat ramah
ataupun kooperatif, hal ini bergantung pada tujuan dan strategi yang dipilih
negosiator. Tidak hanya memperhatikan body language diri sendiri, negosiator
juga dapat memperhatikan bahasa tubuh pihak lawan untuk membaca gerakan
selanjutnya, apakah lawan merasa tertarik, bosan, atau bahkan menunjukan sikap
penolakan.
Selanjutnya, dalam tahap pembahasan negosiator akan
mengarah pada penjelasan lebih lanjut mengenai substansi masalah yang ada serta
mempengaruhi satu sama lain melalui statement dan argumentasi dengan berbagai
strategi (Salamah, 2014). Tahap ini membutuhkan keahlian pendengaran dan
komunikasi yang baik, karena setiap setuju dari pihak lawan akan memudahkan
kelanjutan proses negosiasi yang mengarah pada situasi kolaboratif. Eksplorasi
juga identik dalam tahap pembahasan, dimana negosiator akan berbagi informasi
dengan lebih dalam serta mempelajari apa yang masing-masing inginkan secara
lebih jelas. Dalam halnya, eksplorasi tidak hanya menemukan informasi, namun
dapat menetapkan iklim untuk negosiasi selanjutnya apakah akan bersifat kompetitif
atau kolaboratif (Scott, 1988). Tahap pembahasan sendiri umumnya
diimplementasikan sebagai sebuah proses diskusi yang memilki pengertian
dengan cara bertukar pikiran dan mengeluarkan gagasan pendapat antara dua orang
atau lebih secara lisan.
Diskusi dibagi ke dalam empat tahap, yaitu komunikasi,
pertanyaan, analisis signal, dan penyajian argumentasi (Heron dan Vandenabeele
1998). Kegiatan diskusi dalam tahap pembahasan ini bertujuan untuk memperoleh
suatu kesepakatan, pengertian, dan keputusan bersama tentang suatu permasalahan
yang dibahas dalam perundingan. Kunci keterampilan yang harus dimiliki dalam
tahap ini adalah questioning, listening dan clarifying. Pertanyaan dibutuhkan
untuk penjelasan lebih lanjut mengenai masalah atau perselisihan yang ada.
Sedangkan pendengaran menjadi aspek penting untuk menghindari adanya
kesalahpahaman akibat berbicara terlalu banyak dan mendengarkan terlalu sedikit
(skillsyouneed.com, 2011). Dan klarifikasi dibutuhkan negosiator apabila
terdapat poin-poin yang tidak dapat dimengerti lawan ataupun kesalahpahaman
terhadap posisi. Masing-masing pihak dalam tahap pembahasan harus memiliki
kesempatan yang sama untuk menyampaikan aspirasi dan argumentasinya.
Selanjutnya beralih ketahap bargaining yang merupakan
‘jantung’ dari negosiasi itu sendiri. Negosiator dapat memulai dengan melakukan
penawaran yang biasanya dapat dibagi dalam dua bentuk yakni exchange proposal
atau exchange request (Scott, 1988). Sebuah bagian alami dari proses ini adalah
pembuatan konsesi, yakni menyerahkan satu hal untuk mendapatkan sesuatu yang
lain sebagai imbalan. Konsesi menunjukan sikap kerjasama untuk mencapai tujuan
akhir negosiasi. Kunci keterampilan dalam fase ini adalah ask question, dimana
negosiator harus berani bertanya akan segala opsi yang ada untuk mempertahankan
posisi dan mencapai keuntungan maksimal. Yang terjadi dalam proses ini akan
bergantung pada strategi yang digunakan negosiator, apakah distributive atau
integrative.
Dalam melakukan bargaining, penting untuk bersikap tegas
dan jelas guna mempertahankan kredibilitas tawaran yang tetap bersifat
realistis. Artinya, negosiator tidak perlu merendah jika dalam posisi menjual,
tinggi jika membeli atau sebaliknya (Scott, 1988). Apabila proses ini dilakukan secara efektif,
masing-masing pihak akan cenderung
menemukan resolusi yang berbeda dan lebih menarik dari ide yang dibawa salah
satu pihak karena akan menciptakan situasi kolaborasi (win-win). Lebih
jelasnya, bargaining yang baik akan menghasilkan semua pihak merasa telah memperoleh
nilai yang diinginkan sehingga dapat menemukan landasan bersama tentang nilai
yang saling menguntungkan dari pertukaran ide tersebut (Shell, 1999).
Setelah proses bargaining berakhir, tahapan selanjutnya
adalah closure dimana menghasilkan
output yang bergantung pada keberhasilan negosiator dalam tahapan sebelumnya.
Hasil dari perundingan ini bervariasi, yakni apabila terjadi kesepakatan maka
output dapat bersifat kolaborasi, dominasi, akomodasi atau kompromi. Sedangkan
apabila tidak terjadi kesepakatan umumnya bersifat lose-lose. Yang pertama,
kolaborasi adalah hasil negosiasi yang mengatasi konflik dengan menciptakan
penyelesaian melalui konsesus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua
pihak yang bertikai. Dalam halnya, kolaborasi disebut juga konstruktif atau
negosiasi berbasis minat yang bertujuan untuk menciptakan hubungan selaras
sebagai elemen penting dalam mencari kesepaktan yang adil dan wajar.
Hasil ini berfokus pada pada apa yang disebut sebagai
‘win-win solution’ dimana kedua belah pihak merasa telah mendapatkan sesautu
yang positif melalui proses negosiasi dan kedua belah pihak merasa sudut
pandang mereka telah dipertimbangkan. Hasil ini biasanya merupakan hasil
terbaik, meskipun tidak selalu terjadi dalam tahap perundingan (skillsyouneed.com,
2011). Yang kedua adalah dominasi, dimana hasil ini juga disebut sebagai
win-lose. Dalam negosiasi ini kesepakatan yang terjadi akan menguntungkan hanya
bagi salah satu pihak saja, sedangkan pihak lain kalah atau bahkan mendapatkan
kerugian dari proses negosiasi tersebut. Dengan demikian, win-lose merupakan
hasil yang cenderung diterima secara sukarela. Ketiga terdapat output
akomodasi, dimana hal ini berarti dalam situasi dimana masing-masing pihak
tetap mendapatkan bagian dari apa yang diingankan dalam tahap perundingan,
namun salah satu pihak hasilnya tidak sebanyak atau sesuai dengan apa yang
telah disekpektasikan sebelumnya (skillsyouneed.com, 2011).
Keempat, kompromi adalah hasil negosiasi dimana kedua
belah pihak memberikan sesuatu yang mereka inginkan untuk mendapatkan sesuatu
yang ‘lebih’ dari apa yang mereka inginkan sekarang. Kompromi biasanya terjadi
dalam tahap perundingan yang mengarah pada situasi ‘win-lose’. Dalam situasi
kompromi, tidak ada pihak mendapatkan semua yang mereka inginkan, tetapi mereka
masing-masing mencipatkan konsesi untuk mencapai kesepakatan yang dapat
diterima oleh keduanya. Singkatnya prinsip dari output ini adalah you win some,
you lose some (Spangler, 2003). Terakhir adalah lose-lose (menghindari konflik)
yang menjelaskan hasil dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang
timbul. Atau juga bisa dikatakan kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan
konflik tersebut.
2.2. PERJANJIAN DAN PERSETUJUAN DIPLOMASI
2.2.1. Perjanjian Internasional
Jika kita
berbicara tenatang perjanjian , itu erat kaitannya dengan kerjasama antar suatu
pihak kepihak lain. Seperti perjanjian antar Negara yang sering disebut
perjanjian internasional. Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan
sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen instrumen yuridik yang
menampung kehendak dan persetujun Negara atau subjek hukum internasional
lainnya untuk mencapai tujuan bersama[1].
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur
oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disampaikan oleh
komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu konfrensi internasional di
wina untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan tersebut. Konfrensi tersebut kemudian
menghasilkan Vienna convention on the law
of treaties yang berlaku sejak 1980 dan telah menjadi hukum internasional
positif.
Pembuatan
perjanjian biasanya mengikuti suatu prosedur yang kompleks dan kadang memakan
waktu yang cukup lama. Pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui
beberapa tahap, yakni perundingan, penandatanganan, dan pengesahan. Ada
perjanjian yang dapat segera berlaku hanya melalui dua tahap yaitu tahap
perundinga dan penandatanganan dan ada pula perjanjian yang biasanya penting
sifatnya berlaku harus melalui tiga tahap perundingan. Perjanjian bilateral,
biasanya mulai berlaku setelah pertukaran piagam pegesahan atau setelah
pemberitahuan masing-masing pihak bahwa prosedur konstitusional untuk
pengesahan telah dipenuhi. Sedangkan untuk perjanjian multirateral, mulai
berlakunya suatu perjanjian bagi suatu Negara ialah setelah penyimpanan piagam
ratifikasi pada pemerintah Negara penyimpan atau sekertaris jendral organisasi
internasional yang menyelenggarakan konfrensi.
2.2.1.1 Definisi dan Ruang Lingkup
Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana
dicantum pada pasal 38 statuta Mahkamah Internasional. Dalam pasal 2 Konvensi
Wina 1969, perjanjian internasional di definisikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar Negara dalam bentuk tertulis, dan
diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau
lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.
Dua unsur pokok yang terdapat dalam definisi perjanjian
internasional
1. Adanya
subjek hukum internasional
2. Rezim
hukum internasional
2.2.1.2 Nama
dan Istilah dalam Perjanjian Internasional
·
Treaties
(perjanjian internasional/traktat)
Di indonesia Treaties lebih dikenal dengan Traktat ,
Secara umum treaties adalah perjanjian internasional, secara khusus Treaties
mencakup seluruh perangkat yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan
memiliki kekuatan yang mengikat. Traktat diguanakan digunakan untuk suatu perjanjian
yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil. Jenis-jenis perjanjian
yang termasuk traktat diantaranya adalah masalah perdamaian,perbatasan Negara,
delimitasi, ekstradisi, persahabatan.
Contoh : Perjanjian persahabatan
dan kerjasama di Asia Tenggara , 24 febuari 1976 (Treaty of amity and corporation in southeast Asia).
·
Convention
(Konvensi)
Convention
sama halnya seperti traktat merupakan perjanjian internsional Cuma konvensi
digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak
Negara pihak. Konvensi umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat
iternasional untuk berpartisipasi secara luas, serta konvensi biasanya bersifat
law-making artinya merumuskan
kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.
Contoh : Konvesi jenewa 1949
tentang perlindungan korban perang.
·
Agreement
Secara umum agreement / persetujuan dapat diartikan
sebagai seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan
yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. Persetujuan ini biasanya mengatur
materi kerjasama dibidang ekonomi, kebudayaan, tenik dan ilmu pengetahuan.
·
Charter
(Piagam)
Charter
biasanya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan
suatu organisasi internasional. Charter ini di ambil dari istilah magna Charter
pada tahun 1215. Contoh : Piagam PBB 1945.
·
Protocol
(Protokol)
Bentuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibandingkan convention and treaty. Yaitu :
Bentuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibandingkan convention and treaty. Yaitu :
-
Protocol
Of Sigature
Merupakan
perangkat tambahan yang digunakan oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian
yang berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu
dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian.
-
Optional
Protocol
Berisikan
Hak dan Kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tersebut umumnya memiliki karakter
khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian
induk. Contoh : Protokol tambahan
Konvenan Internasional mengenai Hak-hak sipil dn politik, 1966.
-
Protocol
Based On a Framework Treaty
Merupakan
prangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian
induknya. Protocol tersebut umumnya digunakan untuk menjamin proses pembuatan
perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan
khususnya dalam hukum lingkungan. Contoh : Motreal Protocol onSubstances that
Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh pasal 2 dan 8 Vienna Convention for
the Protection of the Ozone Layer, 1985.
-
Protokol untuk merubah beberapa perjanjian
internasional, seperti Protocol of 1946
amending the Agreements, Conventions and Protocols on Narcotic Drugs.
-
Protokol yang merupakan pelengkap
perjanjian sebelumnya, seperti Protocol
of 1967 relating to the status of refugees yang merupakan pelengkap dari convention of 1951 relating to the status of
Refugees.
·
Declaration
(Deklarasi)
Deklarasi berisikan
ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji
untuk melakukan kebijaksanaan kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya
dengan konvensi ialah, isi deklarasi lebih ringkas dan padat serta
mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti kuasa
usaha, ratifikasi dan lain-lain. Contohnya : Declaration of Asean Concord1976.
·
Final
Act
Merupakan suatu
dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfrensi dan yang
juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan
oleh konfensi tersebut dengan kadang – kadang disertai anjuran atau harapan
yang sekiranya dianggap perlu.
Contoh : Final Act General
Agreement o tariff anf trade (GATT), 1994.
·
Agreed
Minutes dan Summary
records
Merupakan catatan hasil perundingan yang telah
disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya digunakan
sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.
·
Memorandum
of understanding
Merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan
teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, memorandum saling pengertian
dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk. Jenis
perjanjian ini biasanya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa
memerlukan pengesahan.
·
Exchange
of Noes
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional
bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata.
Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang
ditandatanganin oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Pertukaran
ini sering digunakan untuk penjelasan pasal-pasal tertentu dari suatu
persetujuan atau perpanjangan suatu persetujuan. Di Indonesia , pertukaran nota
mengatur soal pelaksanaan persetujuan induk, pemberian hibah, penyediaan
alat-alat teknik, peningkata studi diberbagai bidang, kegiatan survey dll.
·
Process-Verbal
Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau
penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang
bersifat teknik administrative atau perubahan-perubahan dalam suatu
persetujuan.
·
Modus Vivendi
Merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara
dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.
Biasanya dilakukan dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.
2.2.2 Persetujuan
Dengan adanya pembentukan dari sebuah perundingan
ini kemudian dilanjutkan dengan adanya pembuatan dalam hal penutup dan
kesepakatan. Penutup dan kesepakatan, yaitu mencari kesepakatan yang akan
berujung pada sebuah penentuan dan hasil yang seoakat dan dapat diterima
hasilnya, yaitu win-win. Tahapan ini sebenarnya dapat terlihat
bahwa regulasi dan situasi dapat berubah karena dari sebelumnya terjadi
negosiasi dan setelah terjadinya proses negosiasi situasi dari “kami” dan
“mereka” berubah menjadi “kita”.
Pada tahapan negosiasi yang berhubungan dengan
tahapan perundingan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hal ini berpengaruh
karena dalam proses perundingan peran dari negosiator ini terlihat penting
dalam pencapaian kesepakatan yang ingin dicapai. Peran ini harus memberikan
sikap yang memang terlihat adanya keinginan dalam pencapaian kesepakatan
bersama untuk mencapai kepentingan yang ingin diraih. Selain itu, juga tidak
menjadi hal yang tidak mungkin juga dalam negosiasi ini tahapan-tahapan
negosiasi memang harus ditekankan dalam urusan pencapaian
kepentingan-kepentingan tersebut.
Kesepakatan merupakan babak akhir proses negosiasi,
dan para pihak tidak akan pernah bisa mencapainya jika sejak awal tidak
memiliki niat baik. Ketika tercapai kesepakatan biasanya kedua belah pihak
melakukan jabat tangan sebagai tanda bahwa kesepakatan (deal of agreement)
telah dicapai dan kedua belah pihak memiliki komitmen untuk melaksanakannya.
Yang perlu anda ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan
kalau sejak awal masing masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk
mencapai kesepakatan. Sebenarnya soal niat baik ini sulit diukur, tapi karena
menangguk untung sebesar-besarnya merupakan sifat dasar manusia, maka ketiadaan
niat baik berpotensi menjebloskan para pihak kedalam sikap mau menang sendiri.
Sifat mau menang sendiri ini dapat menutup mata pihak yang satu dalam memahami
kepentingan pihak yang lain, demikian sebaliknya.
2.3. BENTUK-BENTUK DIPLOMASI
Berlangsung dalam kelompok kecil
atau kelompok sedang dengan julah peserta yang terbatas serta waktu dan tempat
yang telah ditentukan. Bentuk-bentuk diplomasi antara lain sebagai berikut:
1. Dialog.
2. Persidangan
3. Konferensi
Internasional
4. Kunjungan
kenegaraan.
5. Seminar
Internasional.
6. Simposium.
7. Negoisasi
8. Lobby
Selain dalam bentuk komunikasi
kelompok, diplomasi juga bisa berlangsung dalam bentuk komunikasi bermedia,
baik media surat maupun media massa, antara lain sebagai berikut:
1. Penerangan
masyarakat
2. Hubungan
masyarakat internasional
3. Hubungan
media atau hubungan pers internasional
4. Korespondensi
diplomatic antarlembaga diplomatic (shoelhi, mohammad. 2011:84-85).
2.4 FUNGSI
DIPLOMASI
Secara
umum:
1. Reporting, melaporkan perkembangan berbagai bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb yang terjadi di negara akreditasi dan
mengkomunikasikan informasi penting lain yang perlu diketahui negara
akreditasi.
2. Respresentation,
diplomat yang secara resmi mewakili negaranya dan memeragakan keresmiannya
dihadapan sesame utusan diplomatikdi negara akreditasi.
3. Negotiation,
dalam perundingan diplomat bertugas sebagai pembawa pesan, senantiasa bertindak
sesuai intruksi yang diberikan oleh negaranya.
Fungsi diplomasi duta besar luar
biasa dan berkuasa penuh mencakup:
1. Negosiasi/perundingan,
duta besar bertugas merundingkan segala sesuatu yang dikehendaki pemerintah
negaranya dan pemerintah negara akreditasi.
2. Observasi,
mengamati segala yang terjadi dinegara tempat bertugas dan kemudian melaporkan
ke pemerintah negaranya . duta besar harus memiliki ketelitian dan kemampuan
berpikir kritis analitis sehingga laporan yang disampaikan berisi
pendangan-pandangan disertai pertimbangan yang layak dengan segi-segi yang
perlu diperhatikan, segi yang menguntungkan, maupun yang merugikan.
3. Perlindungan/
protection, duta besar berkewajiban melindungi warga negara serta hak milik
mereka.
4. Konsuler,
melindungi kepentingan negara serta memajukan perdagangan dan perekonomian pada
umumnya , serta kepentingan sosial, budaya, daunt ilmu pengetahuan.
Menurut pasal 3 ayat 1 konvensi
wina mewnfenai hubngangan diplomati, sbb:
1. Mewakili
negara pengirim di negara penerima (reprenseting
the sending state in the receiving state).
2. Melindungi
kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya didalam wilayah
negara diakreditasi dalam batas-batas ketentuan hokum internasional (protecting).
3. Melakukan
perundingan untuk dan atas nama rakyat serta negaranya dengan negara akreditasi
(negotiating).
4. Berupaya
mendapatkan informasi dengan cara yang sah mengenai keadaan serta pembangunan negara penerima
akreditasi, dan kemudian melaporkannya ke negara pengirim, serta menyampaikan
laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan negara
menerima sesuai ketentuan hukum yang berlaku (observing and reporting).
5. Meningkatkan
hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta
memajukan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan (shoelhi, mohammad.
2011:85-88).
2.5 TEKNIK
DIPLOMASI
Komunikasi
diplomatik, khususnya negoisasi, biasanya dilakukan dengan serangkaian
persiapan untuk menentukan berbagai hal yang meliputi:

Setelah
semua disepakati, disusul dengan sebagai berikut:

Kelancaran
jalannya negoisasi lebih ditentukan oleh upaya-upaya setiap pribadi diplomat
yang akan maju ke meja perundingan. Upaya-upaya tersebut antara lain:
1. Menciptakan
kepercayaan bersama, menunjukan sikap saling menghormati dan menghindarkan
keterlibatan emosi.
2. Berupaya
mencari kejelasan masalah, tidak boleh melancarkan interogasi, mengajukan
pertanyaan tertutup yang menimbulkan jawaban ya atau tidak. Pertanyaan yang
diperbolehkan adalah pertanyaan terbuka seperti mengapa dan bagaimana.
3. Menciptakan
saling pengertian, harus membedakan persepsi dari permasalahannya. Semua
masalah subtantif secara objektif harus dijabarkan dan dimengerti dengan baik,
persepsi yang negatif dan sikap masing-masing pihak harus dikemukakan dan
didengar.
4. Para
pihak harus menyusun dan menyepakati prioritas urutan masalah dan memahami
tingkat krusialitasnya.
5. Berupaya
untuk melaksanakan penyelesaian masalah (shoelhi, mohammad. 2011:143-144).
2.6 STATEGI DIPLOMASI
Dalam dunia
diplomasi, setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya
masing-masing. Sangat jarang ditemukan adanya negara yang bersedia mengorbakan
kepentingan nasionalnya untuk kepentingan negara lain (kepentingan yang lebih
besar) yaitu kepentingan internasional. Situasi tersebut menciptakan setiap
negara berlomba untuk dapat sebanyak mungkin menguasai informasi, khususnya
informasi negara lawan agar bisa memenangkan sebuah diplomasi.
Menurut Onong Uchjana Effendy (
1986:35) dalam Shoelhi, Mohammad (2011),
strategi komunikasi baik secara makro ataupun mikro mempunyai fungsi ganda,
yaitu :
1. Menyampaikan
pesan komunikasi yang bersifat informative, persuasif, dan instruktif secara
sistematis.
2. Menjembatani
kesenjangan budaya.
Strategi komunikasi, tidak
terkecuali strategi diplomasi perlu disusun dengan tahapam pendekatan sebagai
berikut:
1. Designing,
penyusunan rancangan format diplomasi. Factor yang perlu dilibatkan untuk
dikendalikan meliputi aspek timing,
placing, priming, dan organizing. Kemudian
factor yang sulit dikendalikan adalah factor sasaran dan setting.
2. Preconditioning,
rancangan format diplomasi disimulasikan dalam berbagai model untuk
memperkirakan kemungkinan feedback yang akan diterima.
3. Conditioning,
upaya menguji sejauh mana sasaran komunikasi akan menanggapi pesan yang hendak
dilontarkan dan aspek-aspek pesan apa saja yang perlu diperhatikan.
4. Exercising,
diplomasi yang sesungguhnya dilancarkan ditengah medan. Seluruh analisis
(komunikator, pesan, dan feedback) harus bekerja secara semestinya. Tetapi
apabila diplomasi hendak dilakukan secara single
strike , seluruh kapasitas diplomasi harus dikerahkan.
5. Evaluating,
hasil-hasil diplomasi dievaluasi. Berjalan sesuai scenario atau tidak, berhasil
atau tidak, dan sebagainya.
6. Reapproaching or concluding,
hasil evaluasidijadikan pembelajaran untuk penentuan langkah selanjutnya. Bila
diplomasi gagal sebagian, perlu pertimbangan apakah perlu diplomasi susulan.
Bila gagal total, apakah perlu format diplomasi baru dengan scenario baru?,
namun bila diplomasi berhasilmaka diplomasi berhenti sampai disitu.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Secara
umum, diplomasi merupakan sebuah seni bernegosiasi yang dilakukan oleh
perwakilan Negara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh Negara
pengirim. Berdasarkan ruang
lingkupnya, diplomasi diciptakan untuk dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan
menjamin kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses. Diplomasi identik
dengan urusan politik luar negeri suatu negara dengan menggunakan berbagai macam
pilihan cara berdiplomasi seperti melalui kerjasama, penyesuaian serta
pertentangan. Pertentangan dengan cara menunjukan kekuatan atau perang
merupakan pilihan terakhir dari proses diplomasi apabila negosiasi yang
dilakukan tidak berhasil. Oleh karena itu perlu adanya tahapan
persiapan dalam perundingan yang akan dilakukan dalam diplomasi. Lalu juga
perlu adanya teknik diplomasi agar negosiasi dan perundingan yang dilakukan
dapat berjalan lancer dan sesuai dengan rencana. Kemudian membuat strategi diplomasi
yang bertujuan untuk kepentingan nasional. Sangat jarang Negara yang rela
mengorbankan kepentingan nasionalnya demi Negara lain. Situasi tersebut
menciptakan setiap negara berlomba untuk dapat sebanyak mungkin menguasai
informasi, khususnya informasi negara lawan agar bisa memenangkan sebuah
diplomasi
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Boer, Maura.
(2011). Hukum
Internasional. Bandung:
P.T Alumni.
Heron, Robert
dan Caroline Vandenabeele. (1998). Negosiasi
Efektif: Sebuah Panduan Praktis (terj. Rulita Wijayaningdyah, Effective
Negotiation: A Practical Guide). Indonesia: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES).
Noor, Amirudin. (2014). Komunikasi Negoisasi Diplomasi.
Jakarta: PT. Upakara Sentosa Sejahtera.
Salamah, Lilik. (2014). Tahap Perundingan dalam Negosiasi. materi
disampaikan pada kuliah Negosiasi Diplomasi, Departemen Hubungan Internasional. Universitas
Airlangga.
Shoelhi, Mohammad. (2011). Diplomasi
Praktik Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Spangler, Brad. (2003). Compromise.
Diakses.
Susilo, I.
Basis. (2014). Tahap Perundingan
dalam Negosiasi. materi disampaikan pada kuliah Negosiasi Diplomasi, Departemen
Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.
B. Sumber lain
Skillsyourneed.com. 2011. What is negotiation. Diakses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar