Kamis, 15 September 2016

Diplomasi - Dede Ayu Putri (2014230122)



Fungsi dan Ruang Lingkup Diplomasi
Sistem Hubungan Internasional semakin berkembang dan semakin menuju kearah kenegaraan yang kompetitif, Negara-negara bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, memajukan kepentingan nasional mereka dan menguasai Negara lain. Persaingan terus berlangsung antara negara-negara dalam mengajar tujuannya. Bahkan tidak jarang satu negara mengejar tujuan yang lebih dari satu. Salah satu fungsi utama diplomasi untuk mendamaikan beragamnya kepentingan ini atau paling tidak membuatnya berkesesuaian.
Salah satu fungsi utama diplomasi yang paling dikenal dalam HI adalah negosiasi. Diplomasi mempunyai ruang lingkup menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan Negara-negara melalui negosiasi yang sukses. Apabila negosiasi gagal, para diplomat menyalahkan lawannya dimuka masyarakat internasional. Contoh klasik dari hal ini bisa kita temui di Mahabharata. Sebelum terjadinya perang besar di Kuruserta, Kresna bertindak sebagai wakil khusus para Kurawa untuk berunding dan menyelesaikan masalah secara damai. Setiap orang tahu bahwa Kurawa tak menginginkan pemecahan damai atas masalah tersebut. Oleh karena itu, pada saat Kresna sedang akan memulai tugasnya, Drupadi, Ratu Pandawa, bertanya mengapa ia mau melakukan misi yang tak akan berhasil. Kresna menjawab, “Saya harus ke Kurawa untuk menjelaskan masalah kita baik-baik dan mencoba membujuk mereka untuk menerima permintaan kita; tetapi apabila usaha saya tidak berhasil dan perang tak dapat dihindarkan, kita harus menunjukan kepada dunia bahwa kita benar dan mereka melakukan ketidakadilan kepada kita sehingga dunia tidak salah menilai terhadap kita.” Ini menyatakan dengan jelas maksud utama dan ruang lingkup utama diplomasi.

Anggota-anggota yang berdaulat dari masyarakat internasional yang ingin mengejar sebuah politik luar negeri yang cerdik selalu membandingkan tujuan mereka sendiri dengan tujuan Negara lain dipandang dari sudut kecocokannya. Apabila mereka tidak sejalan, maka ketidakcocokan itu akan dipertimbangkan apakah mendasar dan menimbulkan konsekuensi tertentu untuk seterusnya ditentukan akan dicapai atau tidak. Apabila ternyata tidak dicapai tidak apa-apa dan tidak menpengaruhi kepentingan bangsa, suatu negara bisa meninggalkannya. Tetapi apabila kepentingan suatu negara tidak sejalan dengan kepentingan negara lain dan itu vital, maka ia akan berusaha untuk memecahkan masalah itu melalui bargaining “take and give” untuk mencapai kesesuaian. Jika ketidakcocokan tujuan itu sangat vital dan bisa menghambat kepentingan nasional utama salah satu negara maka pemecahan kompromi melalui cara damai bisa gagal. Untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing, pihak yang berselisih tersebut mungkin mempertimbangkan politik konfrontasi.
Secara universal diakui bahwa tujuan diplomasi yang baik adalah untuk memilih cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Tiga cara dasar diplomasi adalah kerjasama, penyesuaian serta penentangan. Juga umumnya diterima bahawa pencapaian tujuan melalui sarana damai lebih disukai dan tak ada diplomasi yang menekannya pada penentangan atau ancaman, atau penggunaan kekuatan, yang dinggap baik dan ideal dikarenakan tak ada perang yang bisa selalu diramalkan hasilnya dan bahkan peperangan yang berhasil pun bisa membawa suatu bangsa ke titik kelelahan. Oleh karena itulah para penulis india kuno memberikan penekanan khusus pada pemilihan danda, atau penggunaan kekuatan, sebagai sarana terakhir setelah semua tindakan diplomasi gagal. Sekali lagi hal ini tidak boleh di anggap bahwa penggunaan kekuatan merupakan suatu alat diplomasi yang penting. Ini karena tak ada diplomasi yang gagal dalam perundingan dan pemecahan damai bisa disebut sebagai diplomasi yang baik dan sukses. Oleh karena itu hakikat diplomasi yang sukses adalah kemampuan penempatan penekanan yang benar pada setiap keadaan tertentu pada satu atau lebih instrument diplomasi termasuk pengunaan kekuatan. Selain itu memang merupakan kenyataan yang diterima bahwa “negotiation from strength” merupakan anjuran yang benar; tanpa kekuatan militer pendukung, tak satu negara pun yang bisa menghindari tekanan atas kepentingan vitalnya.
Aksioma “when diplomacy stops, war starts” adalah pernyataan yang tidak benar. Bargaining, yang dalam masa damai disebut diplomasi, tidak berakhir ketika perang mulai. Hanya karakternya yang berubah. Tetapi perang bukan dengan sendirinya merupakan alternatif bagi negosiasi; ia merupakan bargaining yang dilakukan dengan kekerasan. Dalam hubungan ini harus diingat bahwa kapan pun negosiasi damai dilaksanakan, power berdiri dibelakang, “siap siaga”, dan bila mana dibutuhkan dibawa ke front depan untuk dijadikan sebagai ancaman; dan bilamana ancaman ternyata tidak efektif, ia digunakan secara terbuka. Dengan demikian ruang lingkup diplomasi tidak berakhir dengan adanya penghentian perdamaian. Ruang lingkupnya tetap valid meskipun selama perang, hanya caranya yang berbeda.


 DAFTAR PUSTAKA
 BUKU :
 Roy, S.L. DIPLOMASI. 1991. RAJAWALI, PRESS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar