Hilyatul
Awaliah 2012
23 0100
Noviatin 2014 23 0047
Novi Putri Lestari 2014
23 0057
Citra Novenia 2014
23 0054
Homsyah Nuru Aini 2014
23 0048
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Diplomasi
sebagai salah satu cara untuk dapat mencapai national interest suatu negara telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat seiring dengan perubahan zaman. Hal ini kemudian secara tidak langsung
menggeser sedikit demi sedikit arah diplomasi suatu negara dari diplomasi
tradisional yang berfokus hanya pada permasalahan high politics seperti isu perang, perjanjian perdamaian serta
batas-batas negara; menjadi terfokus pada diplomasi modern yang membahas
masalah low politics seperti isu
ekonomi, sosial, isu kesejahteraan serta penghindaran terjadinya perang (White,
2005).
Diplomasi
modern berkembang pada abad 21 yang merupakan lanjutan dari diplomasi
tradisional. Berbeda dengan diplomasi tradisional terdahulu yang dilakukan
secara tertutup dan bersifat rahasia untuk publik, diplomasi tradisional
biasanya didominasi oleh peran pemerintah. Diplomasi modern dilakukan dengan
lebih terbuka terhadap publik dan aktor yang menjalankan diplomasi modern tidak
hanya pemerintah tetapi juga Inter-Governmental
Organization (INGO), Non-Governmental
Organization (NGO), Multinational
Company (MNC) serta Individu (Baylish&Smith, 1998).
Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai
macam diplomasi yang ada di masa sekarang. Beberapa diantaranya ialah seperti diplomasi
perdaganan (trade diplomacy),
diplomasi bantuan (aid diplomacy) dan
diplomasi bencana (disaster diplomacy).
Dewasa ini, diplomasi-diplomasi tersebut kerap dilakukan oleh suatu negara
tidak hanya untuk mencapai national
interest mereka saja namun juga diplomasi ini dilakukan untuk meningkatkan
jalinan kerjasama antar negara-negara yang bersangkutan.
Diplomasi
ekonomi secara umum diartikan sebagai proses pengajuan kebijakan dan keputusan
serta berbagai konsultasi tentang kemudahan dan prospek ekonomi guna mencapai
tujuan dan kepentingan nasional, untuk dinegosiasikan agar dapat disepakati
oleh negara lain, baik secara bilateral maupun multirateral. Diplomasi ekonomi
secara luas diartikan oleh Rana (2007), sebagai suatu proses, melalui proses
mana suatu negara menyelesaikan masalahnya dengan negara lain, guna
memaksimalkan pendapatan dan perolehan negara melalui kegiatan ekonomi dan
pertukaran ekonomi, baik secara bilateral, regional maupun multilateral.
Diplomasi ekonomi biasanya merujuk kepada kepentingan untuk masalah perdagangan
(ekspor/impor), investasi, pinjaman, pelaksanaan proyek pembangunan dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi.
Sedangkan, diplomasi bencana atau disaster diplomacy menurut Kelman (2007) dalam literaturnya yaitu
diplomasi bencana alam yang dipahami sebagai studi tentang bagaimana dan
mengapa bencana alam berkontribusi terhadap perdamaian atau konflik yang
diteliti, baik itu sebelum dan sesudah bencana terjadi. Saat terjadi bencana,
disitulah munculnya peluang, dan bencana itu sendiri yang dapat menjadi sebuah
peluang yang bermakna. Konsep dan pemahaman dari diplomasi bencana ialah dapat
disinergikan dengan isu lokal dan nasional, sebagai bagian dari soft diplomacy yang menopang kerjasama
dengan berbagai pihak dalam lingkup yang luas. Diplomasi bencana juga dapat
diaplikasikan dalam hubungan baik dalam bentuk intra-state atau dapat juga diaplikasikan dalam hubungan inter-state.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat
disimpulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana
………….. Diplomasi Perdagangan?
2. Bagaimana operasional Diplomasi
Bantuan dalam Pemberian
Bantuan Beras ke India?
3. Bagaimana operasional Diplomasi Bencana dalam Konflik antara GAM dengan Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan pertanyaan penelitian makalah ini, maka tujuan dari penelitian makalah
ini adalah:
1. Untuk
memberikan pengentahuan lebih mendalam mengenai definisi dari
Diplomasi Perdangangan, Diplomasi Bantuan dan Diplomasi Bencana oleh suatu
negara.
2. Untuk memberikan pengetahun lebih mendalam mengenai
operasional dari Diplomasi Bantuan dalam Pemberian Bantuan Beras ke India dan Diplomasi
Bencana dalam Konflik GAM dengan Indonesia.
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Trade Diplomacy (perdagangan dan
ekonomi)
Dewasa
ini, ekonomi menjadi suatu hal yang sangat penting bagi suatu negara. Ekonomi
yang kuat akan membuat suatu negara memiliki power tersendiri di dunia internasional. Diplomasi ekonomi dapat
dimaknai sebagai salah satu instrumen penting dalam politik luar negeri suatu
negara. Dalam konteks ini, hubungan luar negeri antarnegara dapat menjadi
perekat hubungan politik. Maka dapat dikatakan bahwa, hubungan ekonomi dapat
berperan sebagai faktor pengaruh dalam hubungan politik.
Ada tiga isu penting di
dalam diplomasi ekonomi, yaitu:
1. Hubungan antara ekonomi dan
politik.
Isu
ini mengacu pada kondisi di tengah perkembangan intensitas dan kompleksitas
yang kian tinggi dari ketigaisu penting ini. Hubungan ekonomi dan politik kerap
tidak dapat sejalan secara bersamaan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus
yang menunjukan bahwa isu-isu politik menjadi penghambat hubungan atau
diplomasi ekonomi yang dimiliki negara. Namun, dalam kasus yang lain juga
terlihat bahwa hubungan ekonomi suatu negara dengan negara lain terbentuk
secara efektif tanpa disibukkan oleh hubungan politik yang dimiliki suatu
negara.
2. Hubungan antara lingkungan dengan
aneka tekanan domestik dan internasional.
Isu
kedua dalam hal ini merujuk kepada tingkat ekonomi sebagai basis instrument
kebijakan ekonomi luar negeri (economic
foreign policy). Dalam konteks ini, tingkat kesiapan yang rendah kerap
menjadi kerikil dalam meningkatkan diplomasi ekonomi suatu negara.
3. Hubungan antara aktor negara dengan
non-negara (aktor privat/swasta)
Isu yang
terakhir dalam hal ini ialah mengenai kemampuan negara dan swasta dalam
hubungan ekonomi atau perdagangan internasional. Semakin harmonis hubungan
pemerintah (negara) dan swasta serta kian tingginya tingkat koordinasi hubungan
antara aktor negara dan non-negara, akan memberikan dampak yang positif terhadap
efektivitas diplomasi ekonomi yang dimiliki (www.tabloiddiplomasi.org,
Februari 2011).
Diplomasi
Ekonomi mengenai Perdagangan. Tidak dapat dihindarkan bahwa perdagangan dalam
dunia internasional mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tren perdagangan
global mendatang tidak hanya dipengaruhi oleh perdagangan barang saja, tetapi
juga perdagangan jasa yang akan semakin mengingkat dan menjadi bagian yang
cukup penting dari bagian pertumbuhan global. Hal ini terjadi karena adanya
perkembangan jaringan produksi yang cangkupannya semakin meluas, tidak hanya
regional tapi juga mencangkup internasional. Dapat dikatakan bahwa, dalam hal
ini jasa berperan sebagai faktor pendukung dan penunjang suatu proses produksi,
seperti jasa logistik dan distribusi, transportasi, dan keuangan.
2.2 Diplomasi
Bantuan (Aid Diplomacy)
Diplomasi Bantuan (Aid Diplomacy) sering kali dikaitkan
dengan bentuk diplomasi publik. Dimana diplomasi bantuan ini juga mencerminkan
kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara untuk menjalin mitra
kerjasama. Tidak mengherankan jika kemudian banyak negara yang memanfaatkan
sarana bantuan kemanusiaan untuk mencari dukungan maupun merealisasikan politik
luar negerinya. Melalui diplomasi bantuan inilah, negara mengupayakan cara
untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya secara halus dan tanpa menggunakan
cara-cara kekerasan.
Tujuan utama
dari diplomasi ini adalah membangun sebuah image/citra internasional agar dapat
membantu negara dalam mencapai kepentingan luar negeri. Hal ini didorong oleh
kemajuan komunikasi yang membuat setiap orang semakin mudah mengetahui kejadian
di tempat lain, opini orang lain serta perilaku orang lain. Perubahan situasi
seperti ini membuat para pengambil kebijakan menyadari pentingnya memobilisasi
opini atau persepsi publik melalui strategi tertentu yang memanfaatkan
saluran-saluran komunikasi publik.
Bahkan, para
pemimpin negara kadangkala memotong jalur diplomasi tradisional dalam rangka
membentuk opini yang lebih positif terhadap mereka, kebijakan nasional mereka
atau bangsa mereka. Berkembangnya diplomasi bantuan ini sejalan dengan mulai
munculnya isu-isu non tradisional yang tidak tertangani secara maksimal oleh
pemerintah seperti lingkungan hidup, kemiskinan, HAM, demokrasi, bencana alam.
Bantuan kemanusiaan juga merupakan salah satu alat politik yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan citranya dimata internasional.
Saat ini
penanggulangan bencana sudah menjadi soft diplomacy antar negara. Sebab bencana
sudah menjadi urusan bersama yang juga dapat digunakan sebagai sarana atau alat
untuk berdiplomasi. Pada saat kejadian bencana besar, banyak negara-negara yang
menerapkan soft diplomacy dengan alasan kemanusiaan.
Menarik juga
untuk memahami motivasi sebuah negara untuk memberikan bantuannya. Negara donor
memberikan bantuannya pertama-tama karena hal tersebut memang untuk kepentingan
politik, strategis dan/atau ekonomi mereka. Walaupun ada juga beberapa bantuan
itu yang didorong oleh alasan-alasan moral dan kemanusiaan untuk membantu
negara-negara yang kurang beruntung tanpa mengharapkan imbalan. Namun secara
garis besar ada 2 motivasi yang mejadi dasar sebuah negara melakukan diplomasi
bantuan yang pertama Motivasi Politik, Motivasi politik merupakan motivasi yang
paling penting bagi negara-negara pemberi bantuan.
Bantuan luar negeri pertama-tama harus
dilihat sebagai tangan panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya
condong berbeda tergantung situasi nasional dan bukan semata-mata dikaitkan
dengan kebutuhan negara penerima yang secara potensial berbeda-beda antara
negara yang satu dengan negara yang lain. Selanjutnya ada Motivasi Ekonomi, Dalam
konteks prioritas strategi dan politik yang luas, program bantuan luar negeri negara-negara
maju mempunyai rasional ekonomis yang kuat. Dalam kenyataannya walaupun
motivasi politik mungkin merupakan yang utama, namun landasan yang bersifat
ekonomis paling tidak merupakan alasan untuk membenarkan motivasi memberikan
bantuan.
2.3 Diplomasi
Bencana (Disaster Diplomacy)
Sebagai salah satu bentuk diplomasi yang mampu meredam konflik antara
pihak-pihak yang berlawanan, maka
yang menjadi prioritas utama ialah memberikan bantuan baik dari segi moril maupun
materil, agar pihak-pihak yang tengah berkonflik tersebut dapat
mengenyampingkan konflik mereka. Walaupun hubungan antar negara
yang didasari dengan upaya
penangan suatu bencana alam, memang tidak akan bertahan lama.
Namun, setidaknya melalui
kerjasama yang ada dalam
penanganan bencana alam ini, dapat meminimalisir kemungkinan
meluasnya konflik yang terjadi (Island Security and Disaster Diplomacy in the Context of Climate
Change, 2006).
Kelman dan Koukis sebenarnya mendefinisikan diplomasi
bencana alam sebagai sebuah studi tentang bagaimana, mengapa dan apakah bencana
alam dapat memberikan kontribusi terhadap perdamaian atau konflik dengan
melakukan penelitian saat sebelum dan setelah sebuah bencana. Saat sebelum
bencana alam terjadi, disaster diplomacy membahas
tentang pencegahan, mitigasi, dan upaya untuk memotong banyaknya korban jiwa.
Berbanding terbalik ketika sudah terjadi bencana alam, disaster diplomacy membahas tentang bagaimana konflik dan
perdamaian dipengaruhi oleh bencana alam (Kelman, 2012).
Fenomena bencana alam mungkin tidak akan berdampak
destruktif apabila upaya pencegahan, secara teknis maupun politis dapat
dilakukan dengan baik. Kemudian, apabila fenomena tersebut dapat dikelola,
kemungkinan besar bisa menguntungkan bagi negara yang terdampak. Dari situlah disaster diplomacy berjalan dengan cara
mengambil peluang yang muncul dari fenomena yang terjadi (Kelman, 2007).
Kelman menyadari bahwa diplomasi bencana alam biasanya
berikut tiga hasil kemungkinan: jangka pendek, jangka panjang, dan efek yang
diinginkan sebaliknya. Untuk hasil yang jangka pendek terjadi ketika bencana
memberikan kesempatan baru negosiasi antara pihak yang saling berlawanan. Tujuan dari jangka panjang untuk menemukan bahwa anggapan yang telah ada
sebelumnya merupakan faktor yang kuat dalam diplomasi. Terlepas dari hasil yang
berpotensi negatif, fakta menunjukkan bahwa respon terhadap bencana alam
biasanya membawa masyarakat yang saling berlawanan agar bersama-sama untuk
waktu yang singkat (Disaster Diplomac: A Brief Review, 2012).
Kemudian, Kelman juga menjelaskan bahwa diplomasi bencana
alam membahas tentang aktivitas fenomena itu sendiri yang tidak hanya sebatas
lingkup hubungan internasional, namun juga lebih dalam mencapai kepada konflik
politik alam sebuah negara merdeka (Geoforum, 2008). Menurut Synder, diplomasi
bencana alam benar-benar memiliki keuntungan dalam hubungan internasional,
sebab dengan adanya bencana alam sebuah negara dapat menilai bagaiman kebijakan
dari negara lain yang memberikan respon terhadap bencana alam tersebut (A.J,
Synder, 2008). Selain iut, Synder juga menambahkan bahwa disaster diplomacy yang dilakukan antar negara yang memiliki tujuan
untuk meningkatkan soft power.
Keuntungan yang dapat diambil dari soft power sebagai basis kekuatan diplomasi ialah lebih efisien
secara biaya dibandingkan dengan strategi “carrot
and stick” yang mendasarkan kepada paksaan. Selain itu, negara yang sering
melakukan foreign aid sebagai
kontribusinya dalam penanganan bencana alam akan dihormati dan dituakan. Maka
dari itu, secara tidak langsung dapat meningkatkan posisi tawar negara pemberi bantuan
dalam interaksinya di dunia internasional.
1.
Brief
History of Disaster Diplomacy
Aspek
diplomasi bencana alam telah lama dipelajari dan diterapkan. Untuk bencana yang
melintasi batas negara, dari kota-kota perbatasan Eagle Pass, Texas, USA Dan
Piedras Negras, Coahuila, Meksiko melkukan penyelidikan banjir yang melintasi
perbatasan di sungai Rio Grande pada 27 sampai dengan 30 Juni 1954. Kajian
sosiologi Clifford menjelaskan tentang pola individu dan organisasi yang
merespon terhadap bencana alam banjir tersebut.
Clifford menyimpulkan untuk lebih berfokus pada porositas
yang nyata dari perbatasan dalam kaitannya dengan interaksi sosial. Kedua
individu baik informal mapupun lembaga-lembaga yang formal dipandang sebagai
hal yang penting dalam membantu masyarakat untuk merespon bencana ini. Secara
khusus, 'bencana alam bertindak sebagai katalisator, dalam arti, yang tiba-tiba
membawa banyak bidang hubungan ke fokus lebih yang tajam' (Clifford, 1956).
Dua puluh tahun kemudian Quarantelli serta Dynes (1976)
menyimpulkan bahwa kebanyakan konflik yang muncul dalam kegiatan pasca bencana
sama dengan konflik pra-bencana alam dalam masyarakat. Munculnya kembali
konflik tersebut dapat dilihat sebagai bukti masyarakat pulih dari bencana alam
yang terjadi. Bahkan dapat memperkuat menigkatkan kesatuan masyarakat yang
dihasilkan selama keadaan darurat. Pasca bencana alam menigkatkan kesatuan
masyarakat seiring dengan perbaikan moral akibat bencana dan tanggap bencana.
Namun bencana alam yang diperiksa tidak memiliki tingkat kematian yang tinggi
dan kerusakan yang meluas di seluruh lapisan masyarakat (Quarantelli dan Dynes,
1976).
Kemudian, Kelman dan Koukis (2000) memulai upaya
sistematis dengan mendokumentasikan dan menganalisis diplomasi bencana melalui
empat makalah. Makalah-makalah tersebut ialah Ker-Lindsay (2000) meneliti
Yunani - Turki, Glantz (2000) meneliti Cuba - Amerika Serikat, Holloway (2000)
menyelesaikan analisis komparatif dari tiga studi kasus yang menggunakan
kerangka sistem adaptif kompleks. Kelman menyarankan berdasar pada pemulihan
hubungan Yunani - Turki yang muncul akibat dari gempa bumi di Turki pada
Agustus 1999 dan gempa bumi di Yunani pada September 1999 (Kelman, 2012).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Aid
Diplomacy (Bantuan Beras ke India)
Indonesia
memutuskan untuk menawarkan India beras dimulai sejak tanggal 28 April 1946
karena Indonesia ingin membuktikan kepada Belanda atas berita bahwa Indonesia
sedang mengalami bencana kelaparan. Perdana
Menteri (PM) Sutan Sjahrir berpikir keras, bagaimana caranya untuk menembus
blokade ekonomi Belanda, menyanggah propaganda Belanda soal krisis ekonomi dan
pangan, sekaligus menegaskan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan
RI. Medio 1946, Belanda tengah ketat-ketatnya
memblokade RI untuk bisa berdagang dengan negara lain. Sjahrir pun mencetuskan
inisiatif yang di kemudian hari sangat vital dan cemerlang buat pengakuan RI
terhadap negara-negara lain, terutama sesama bangsa Asia, yakni lewat
“diplomasi beras”.
Tentunya
pemerintah RI harus meyakinkan dulu pada segenap rakyat untuk mau merelakan
sejumlah beras saat itu, untuk dikirim sebagai bantuan kepada salah satu negara
sahabat, India. Hal itu juga disampaikan pada Jawaharlal Nehru pada 13 Mei
1946. Bantuan beras yang diajukan Indonesia mulai
dibicarakan oleh Perdana Menteri Sjahrir dengan K.L punjabi, yaitu wakil
pemerintahan India yang diutus oleh Jawaharlal Nehru yang pada saat itu adalah
Perdana Menteri India pada tanggal 18 sampai 19 Mei 1946 di Jakarta. Dalam
perundingan ini, pemerintah Indonesia menungu kedatangan kapal pengangkut India
yang yang akan mengangkut beras dari Indonesia ke India.
Proses
diplomasi tersebut dilakukan oleh P.M Indonesia, Sutan Sjahrir melalui sebuah
perjamuan makan untuk K.L. Punjabi. Dalam perjamuan makan tersebut K.L. Punjabi
menyetujui pengiriman beras ke India. Persetujuan pemberian bantuan
500 ribu ton beras pun tercapai dan sebagai “tanda jadi” persetujuan itu, PM
Sjahrir menyerahkan sekeranjang beras yang ditutupi dengan bendera merah putih,
untuk kemudian diberikan pada Raja Muda Lord Wavell di India.
Sebuah
kepanitiaan pun dibentuk pada 27 Mei 1946 dengan diketuai Ir. Subianto. India
merespons pula dengan mengirim empat kapal ke Indonesia yang akan jadi sarana
mengirim beras dari Pelabuhan Cirebon, Probolinggo dan BaMau nyuwangi ke India. Jawatan Kereta Api juga ikut memberi kontribusi
dengan mengangkut sejumlah beras yang terkumpul, termasuk 15 ton dari Badan
Perekonomian Rakyat Indonesia di Karawang, dan diantarkan ke pelabuhan Cirebon.
Pengiriman bantuan itu berhasil dilakukan pada 20 Agustus 1946. Sebagai balasannya, India mengirimkan
bahan-bahan pakaian, obat-obatan, serta alat-alat pertanian. India juga kian
simpati pada perjuangan rakyat Indonesia, dengan melarang sejumlah pesawat,
serta kapal Belanda yang hendak singgah ke India.
“Diplomasi
Beras” itu kemudian jadi satu titik pengekalan hubungan persaudaraan
Indonesia-India, terutama sesama bangsa Asia yang sama-sama tengah
memperjuangkan kemerdekaannya. Diplomasi
itu dengan cepat meraih simpati dari negara-negara lainnya, termasuk Australia
yang sedianya, sempat menyediakan “ruang” untuk pembentukan NICA (Nederlandsch
Indië Civil Administratie), balik mendukung perjuangan Indonesia (http://m.okezone.com/read/2015/05/17/337/1151082/sjahrir-tembus-blokade-belanda-dengan-diplomasi-beras).
Seperti
yang sudah dijelaskann bahwa
tujuan utama Indonesia melakukan diplomasi beras dengan bantuan beras yang di kirim indonesia ke India
adalah sebagai upaya melepaskan diri dari blokade ekonomi yang dilakukan
Belanda. Karena dengan adanya diplomasi beras membuktikan bahwa Indonesia mampu
menghasilkan surplus ditengah krisis ekonomi dan membuktikan bahwa di Indonesia
tidak ada bahaya kelaparan, seperti yang dikatakan oleh pihak NICA.
Diplomasi bantuan dapat dikatakan sebagai salah satu
jalan untuk membangun mitra kerjasama yang baik antar negara juga mendukung
hubungan persaudaraan antar negara. Hal ini ditunjukan bahwa tiap negara
memiliki potensi untuk saling membantu guna melancarkan kepentingan negara satu
sama lain. Diplomasi bantuan ini juga bukan hanya sekedar memberi bantuan
tetapi dibalik memberi bantuan pasti ada tujuan tertentu dimana suatu negara
membutuhkan dukungan dari pihak yang di bantunya. Misalnya diplomasi beras yang dilakukan dimana indonesia memberikan bantuan ke
india yang sedang di landa kelaparan. Dengan jalannya diplomasi bantuan
tersebut juga membuat Indonesia diakui kemerdekaannya oleh negara-negara lain karena waktu negara-negara
asing lainnya belum mengetahui bahwa ada sebuah negara bernama Indonesia karena
Indonesia baru saja memerdekakan diri. Hal ini dapat terjadi karena ada bantuan
dari pihak India yang membantu Indonesia di forum-forum Internasional seperti
di PBB mengenai kemerdekaan Indonesia.
3.2 Disaster
Diplomacy (GAM – Indonesia)
Lahirnya pemberontahan yang berkahir kepada Gerakan Aceh
tidak terlepas dari adanya pro dan kontra dalam kalangan tokoh-tokoh Aceh yang
dimana mempertanyakan bahwa apakah Aceh ikut bergabung ke dalam Republik
Indonesia dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Kemudian,
munculnya kekecewaan dari rakyat Aceh dimana saat berlangsungnya sidang Dewan
Menteri Republik Indonesia Serikat pada Agustus 1950 yang memutuskan bahwa
wilayah Indonesia dibagi dalam 10 provinsi yang mana Aceh tergabung ke dalam
provinsi Sumatera Utara. Karena, sebelumnya Tengku Daud Beure’uh sebagai ketua
umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia juga turut untuk mendukung kemerdekaan
Indonesia dari Belanda, maka dari itu dilakukanlah negosiasi dengan pemerintah
pusat yang membahas tentang otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat
Islam (Sihbudi, 2001).
Dengan hasil keputusan tersebut, keinginan rakyat Aceh
agar menjadi wilayah syariat Islam tidak dapat ditawar lagi, yang akhirnya
kekecawaan tersebut diwujudkan ke dalam bentuk tentara Darul Islam Tentara
Islam Indonesia di Aceh pada 1953 (Nurhasim, et al, 2003). Kemudian, pada
periode Hasan Tiro yang membentuk sekelompok intelektual yang kecewa terhadap
model pembangunan di Aceh, yang akhirnya melakukan proklamasi atas kemerdekaan
di Aceh pada Desember 1976 dan memproklamirkan sebagai kelompok Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Sebagai wilayah yang melimpah atas sumber daya alamnya, Aceh
memberikan daya tarik kepada salah satu investor gas alam cair Liquefied
Natural Gas (LNG), yang berakhir dengan masalah eksploitasi dan ketimpangan
ekonomi akibat dari penekanan oleh pemerintah Orde Baru terhadap pertumbuhan
ekonomi yang mendorong penggalakan eksploitasi.
Dari pembangunan pabrik yang mengarah kepada
datangnya para pendatang ke Aceh, terutama dari pulau Jawa yang dianggap lebih
mahir dibanging rakyat Aceh. Ditambah, selain adanya ketimpangan etnis, rakyat
Aceh juga mulai menyadari bahwa hasil tambang bumi mereka lebih banyak dibawa
ke Jakarta dibandingkan dengan yang mereka miliki. Namun, dengan munculnya
kelompok ini, ditanggapi secara represif Soeharto yang dimana pada 1989 menggelar operasi gabungan yaitu operasi
bakti dan operasi militer dengan mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk
menumpas pemberontakan GAM.
Pendekatan militer tersebut dikenal dengan
istilah Daerah Operasi Militer (DOM) yang dibangun dengan tujuan agar proses
pembangunan Indonesia tidak mengalami gangguan. Pendekatan militer yang
dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan terjadinya kekerasan pada
periode DOM dari tahun 1989 sampai dengan 1995 di Aceh. Akhirnya, membuat
kelompok GAM melakukan perjalanan keluar dan melanjutkan perjuangannya di luar
Aceh, seperti di Malaysia, Libya, dan Jenewa (Nurhasim, et al, 2003).
Mediasi oleh Crisis
Management Initiative (CMI)
CMI merupakan sebuah organisasi
internasional non-pemerintah berasal dari kota Hdelnski, Finladia dan berdiri
pada tahun 2000. Berfokus pada bidang resolusi konflik yang memiliki beberapa
tujuan yaitu untuk membantu masyarakat internasional agar dapat keluar dari
isu-isu seperti isu kemanusiaan sampai isu pembangunan serta keamanan. Alasan
mengapa Indonesia memilih CMI sebagai mediator antara konflik GAM ialah karena
kesamaan paham dengan Indonesia, bahwa dalam menyelesaikan separatisme di Aceh
yang dimana dapat ditentukan bahwa konsep yang memunginkan untuk digunakan
yaitu konsep otonomi khusus.
Kesamaan paham tersebut pun terbukti dalam
rentang tiga tahun, CMI berhasil mebawa kedua pihak yang berkonflik untuk duduk
bersama merumuskan perjanjian perdamaian dan menghasilkan beberapa kesepakatan
yaitu diantaranya ada; 1) penghentian perjanjian permusuhan antara kedua pihak;
2) pencabutan status daerah operasi militer; dan 3) bersamaan dengan
kesepakatan yang kedua, GAM akhirnya menyerahkan seluruh persenjataannya dan
membubarkan 3.000 pasukan.
Pada tahun 2002, negosiasi mengarah kepada
Kesepakatan Penghentian Permusuhan antara GAM dan Indonesia, tetapi perjanjian
tersebutj hanya bertahan beberapa bulan sebelum akhirnya pecah kemballi pada
awal tahun 2003 (Kelman, 2005). Pada tahun 2004, Jusuf Kalla sebagai Wakil
Presiden Indonesia saat itu, diminta untuk melakukan pendekatan dengan para
pemimpin GAM terkait perdamaian untuk mengakhiri konflik. Menyadari tentang
hal-hal yang dapat merusak baik di dalam parlemen dan angkatan bersenjata,
Kalla pun mengirim Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Farid Husain
untuk berbicara secara diam-diam dengan para pemipin GAM, baik yang berada di
Aceh maupun yang berada di luar negeri.
Kemudian, pada 2004 terjadilah bencana alam
gempa bumi dan tsunami di Aceh yang akhirnya menciptakan situasi yang kondusif
bagi penyelesaian konflik kedua pihak. Baik GAM maupun Indonesia menyadari
prioritas penanggulangan dan rekonstruksi akibat dari bencana gempa serta
tsunami di Aceh. Ditambah, dengan jatuhnya korban yang mencapai sekitar 180.000
orang dan lebih dari 500.000 warga kehilangan tempat tinggal serta rusaknya
berbagai infrastruktur utama di Aceh, menjadi pendorong utama bagi kedua pihak
untuk kembali ke meja perundingan (Diplomasi Bencana Alam sebagai Saran
Meningkatkan Kerjasama Internasional, 2014).
Akhirnya pada 2005, kedua pihak sepakat
untuk melakukan penandatanganan Nota Kesepakatan di Helsinki, Finlandia (Susan,
2009). Tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dengan GAM secara
resmi menandatangani perjanjian Memorandum
of Understanding (MoU) di Helsinki (Husain, 2007). Perundingan perdamaian
antara Indonesia dengan GAM dimulai dari tahap pertama 27 - 29 Januari 2005
sampai dengan tahap kelima 12 – 17 Juli 2005 (Ju Lan, 2005).
1. Putaran
Perundingan Helsinki Tahap I
Pada perundingan
yang pertama ini menghasilkan sebuah kesepakatan baik dari pemerintah Indonesia
maupun pihak GAM, dapat mempertahankan hal prinsipil bagi kedua pihak, di sisi
lain, kedua pihak juga saling melepaskan tuntutan-tuntutan lainnya. Seperti
yang tertera dalam MoU Helsinki, dinyatakan bahwa NAD (Nanggroe Aceh
Darussalam) tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
GAM menghentikan perlawanan serta menyerahkan persenjataannya atau dengan kata
lain, GAM telah meninggalkan tuntutannya untuk merdeka (Husain, 2007).
Kemudian, pada
tangal 28 Januari 2005, tercapai satu landasan yang bersamaan dengan perlunya
suasana damai untuk memberikan kesempata penyaluran bantuan bagi korban
tsunami. Fokus pembicaraan pada hari kedua perundingan yaitu lebih tertuju
kepada usaha untuk mendukung lancarnya penyaluran bantuan kemanusiaan terkait
bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh (Kingsbury, 2006). Namun, pada hari
ketiga perundingan, situasi kembali memanas dikarenakan Indonesia tetap
menyampaikan bahwa genjatan senjata dapat disetujui dengan syarat agar GAM
menyetujui Otonomi Khusus yang disertakan dengan pemberian amnesti penuh dari
pemerintah Indonesia, selain itu, pemerintah Indonesia juga menjanjikan
pengadaan lapangan kerja atau tanah untuk anggota GAM.
Akhirnya, hari
ketiga perundingan tidak memberikan kesepakatan apapun termasuk dengan ancaman
gagalnya perundingan damai Helsinki. Tujuan dari pertemuan itu adalah untuk
membangun kembali dialog antara kedua pihak yang berkonflik setelah terjadinya
bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004. Marttin Ahtiasaari
menyerukan untuk dihentikannya pertempuran agar dapat tersalurkannya batuan internasional.
Pertemuan tersebut juga diadakan selain untuk membuat kedua pihak duduk di meja
perundingan, pertemuan tersebut juga diadakan dalam rangka untuk membangun
kepercayaan dan mengidentifikasi landasan guna memudahkan langkah pembicaraan
selanjutnya.
2. Putaran
Perundingan Helsinki Tahap II
Pada 21 Februari
2005, kedua pihak antara GAM dengan Indonesia kembali mengadakan pertemuan
untuk membicarakan penyelesaian masalah Aceh. Pada perundingan yang kedua,
delegasi Indonesia menawarkan substansi substasi Otonomi khusus yang mencakup
pemilu provinsi partisipasi GAM dalam pemilu. Namun akhirnya, kedua pihak
sepakat terhadap konsep ‘pemerintahan sendiri’ atau otonomi khusus. Pada hari
ketiga perundingan, CMI mengajukan agenda yang akan dibahas dalam putaran berikutnya
seperti: otonomi khusus atau selfgovernment,
pemilihan provinsi dan pemilihan lokal, partai politik lokal, pengaturan
ekonomi, amnesti, pengaturan keamanan, monitoring dari pihak luar, dan dialog
dalam masyarakat Aceh sendiri untuk menghindari adanya kesalahpahaman.
3. Putaran
Perundingan Helsinki Tahahp III
Pada perundingan
yang ketiga ini, CMI lebih banyak berperan sebagai fasilitator pertemuan dari
kedua pihak dan menyediakan berbagai macam kebutuhan agar perundingan
berlangsung dengan kondusif dan maksimal. Ahtisaari juga memberikan penekanan
terhadap topik pembicaraan dalam perundingan. Pertama, self-government di dalam kerangka otonomi khusus Republik
Indonesia. Kedua, partisipasi politik, yaitu adanya pemilihan lokal yang
dimonitor. Ketiga, adanya dialog dalam masyarkat Aceh sendiri (Awaludin, 2008).
Dalam pembahasan Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh yang didalamnya terdapat pengaturan
ekonomi dan pengaturan politik. Dari proposal yang diajukan GAM dalam bidang
ekonomi, setidaknya mengajukan lima hal penting, diantaranya:
a.
Kewenangan
pemerintahan Aceh untuk mengelola SDA seperti minyak, gas, dan bahkan air
bersih.
b.
Kewenangan
dalam bidang perdagangan, termasuk perdagangan luar negeri.
c.
Masalah
penanganan pariwisata.
d.
Kewenangan
mengelola pelabuhan udara dan laut.
e.
Masalah
kewenangan mengelola pendidikan di Aceh, termasuk pengirimin pelajar Aceh ke
luar negeri.
Pemerintah Indonesia pun juga memberikan beberapa
tuntutan terhadap GAM, dinataranya:
a.
Menjalankan
prosedur pemerintahan secara konsisten terhadap semua produk hukum, terkait
dengan Otonomi Khusus.
b.
Menyerahkan
minimal 900 buah senjata.
c.
Menyerahkan
pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri.
Akhirnya, tercapai
lah kesepakatan antara kedua belah pihak terkait dengan beberapa isu vital
sebagai berikut:
a.
Kedua
belah pihak memandang bahwa penyelesaian secara permanen dan komprehensif dalam
konflik Aceh (Both parties seek a
permanen and comprehensive solution with dignity for all)
b.
Menegosiasikan
definisi kerangka dari struktur administratif Aceh (The negotiations will seek to define the framework for the local
administrative structure of Aceh)
c.
Eksplorasi
atas partisipasi lokal dalam pemilu (The
negotiations will explore the form of participation in local elections)
d.
Mendefinisikan
secara rinci mengenai amnesty (The negotiations will define the details of
providing amnesty)
e.
Transportasi
dalam hal pendapatan dan alokasi dana antara pemerintah pusat dengan pemerintah
Aceh (Transparency will be enhanced for
the collection and allocation of revenues between the central government and
Aceh)
f.
Kedua
belah pihak membuka peluang bagi regional organisasi untuk memonitor komitmen
yang akan disepakati oleh kedua pihak (Both
parties welcome the possible involvement of regional organizations in
monitoring the commitements that wil be undertaken by the parties in the
agreement)
g.
Kedua
belah pihak tidak akan melakukan pergerakan pasukan selama proses perundingan
berlangsung (Both parties will not do
their security forces in the field during the negotiations process) (Hamid,
2006).
4. Putaran
Perundingan Helsinki Tahap IV
Dalam perundingan yang ke empat ini membahas tentang
partisipasi politik dan keamanan dalam kerangka self government (Ju Lan, 2005). Kemudian, dalam perundingan ini
juga CMI mengajukan pembentukan misi pengawasan oleh Uni Eropa dengan menunjuk
kepala misi pengawasannya, Pieter Feith. Akhirnya, CMI pun mulai menyiapkan
draft Nota Kesepahaman yang dibahas dalam perundingan ke lima.
5. Putaran
Perundingan Helsinki Tahap V
Mesikpun kedua kubu
berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda, namun tidak semuanya
berjalan lancar. Dimana dengan adanya keinginan GAM agar Nanggroe Aceh
Darussalam diperbolehkan untuk mendirikan partai politik lokal. Tetapi usul
tersebut bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik, yang
mengharuskan setiap partai berpusat di Jakarta, dan tidak mempunyai cabang di
sebagian wilayah provinsi Indonesia.
Dalam suasana yang
hampir “deadlock” tersebut, maka
terjadilah beberapa kali pertukaran draft dan diskusi mengenai pembentuan
partai lokal yang sampai kepada kesepakatan dimana Indonesia akan memfasilitasi
pendirian partai lokal setelah perdamaian ditandatangani (Kingsbury, 2006).
Akhirnya, baik dari pihak GAM dan pemerintah Indonesia sepakat untuk melakukan
penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005.
Kemudian, untuk mengakomodasi tuntutan pendirian partai
politik lokal, akhirnya pemerintah Indonesia menawarkan beberapa pilihan
diantaranya:
a.
Memberikan
kesempatan kepada para anggota GAM untuk menduduki posisi politik,
b.
Memberikan
kesempatan kepada pemimpin GAM untuk menjadi kandidat kepala daerah dari partai
politik yang ada di Indonesia, atau
c.
Menjadikan
GAM sebagai partai politik yang berstruktur atau bersifat nasional. Namun
usulan tersebut ditolak oleh GAM, mereka tetap bersih kukuh untuk mendirikan
partai lokal (Hamid, 2006).
Dari
perundingan-perundingan tersebut dapat disimpulkan hasil dari mediasi Aceh yang dilakukan oleh CMI yaitu sebagai
berikut:
a.
Bagi
kedua pihak yang bertikai
Adanya kesepakatan damai berupa Memorandum of Understanding (MoU), kedua pihak pun puas dengan
hasil yang telah disepakati, hubungan antara kedua pihak pun membalik, dan
pengadilan Hak Asasi Manusia pun akan dibentuk untuk Aceh yang tertuang dalam
MoU pasal 2.
b.
Bagi
Mediator
Dengan berhasilnya
CMI untuk membuat kedua pihak duduk bersama di meja perundingan dan akhirnya
mencapai kesepakatan perdamaian yang ditandatangi pada 15 Agustus 2005, secara
otomatis telah meningkatkan status CMI di mata dunia internasional sebagai suatu
organisasi internasional yang mampu menyelesaikan konflik internal di suatu
negara. Ketika
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trade diplomacy atau diplomasi ekonomi dapat diartikan sebagai salah satu instrumen
penting dalam politik luar negeri suatu Negara, dimana hubungan luar negeri antarnegara
dapat menjadi perekat dalam hubungan
politik. Tiga isu penting dalam diplomasi ekonomi
yaitu; 1) Hubungan antara ekonomi dan politik; 2) Hubungan antara lingkungan dengan
aneka tekanan domestik dan internasional; dan 3) Hubungan antara aktor negara dengan non-negara
(aktor privat/swasta). Aid diplomacy atau diplomasi bantuan
dimana negara mengupayakan sebuah atau berbagai cara untuk mewujudkan kepentingan
nasionalnya secara halus, tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Diplomasi ini bertujuan agar dapat membangun
sebuah image/citra dari dunia internasional internasional dalam mencapai kepentingan
nasional suatu negara. Disaster diplomacy atau diplomasi bencana ialah bentuk
diplomasi yang mampu meredam konflik antara pihak berlawanan, dengan cara memberikan bantuan baik dari segi
moril maupun materil, agar setiap pihak yang tengah berkonflik tersebut dapat
mengenyampingkan konflik mereka. Ketika
terjadi bencana, disitulah munculnya peluang, dan bencana itu sendiri yang
dapat menjadi sebuah peluang yang bermakna.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Awaludin, Hamid. 2008. Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI – GAM di Helsinki. CSIS.
Baylish, John & Smith Steve. (1998).
The Globalization of World Politics: An
Introduction to Innternational Relation. New York: Oxford University Press.
Elsevier.
2008. Wave of peace? Tsunami disaster
diplomacy in Aceh, Indonesia. Geoforum.
Illan, Kelman.
2012. Disaster Diplomacy: How disasters
affect peace and conflict. London and Newyork: Routledge.
Kingsbury,
Damien. 2006. Peace in Aceh.
Singapur: Ecolnox Publishing Asia.
Hamid, Farhan. 2006. Jalan
Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh. Jakarta: Suara
Bebas.
Husain, Farid.
2007. To See The Unseen: Kisah di Balik
Damai di Aceh. Jakarta: Health and Hospital.
Nurhasim,
Mochammad. 2003. Konflik Aceh.
Jakarta: LIPI
Rana. (2007). Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries, Chapter 11,
dalam Nicholas Bayne, and Stephen Woolcock. The
New Economic Diplomacy: Decision Making and Negotiating in International
Economic Relations, 2nd edition. London: Ashgate.
Sihbudi, Riza,
ed. (2001). Bara Dalam Sekam:
Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal. Bandung:
Mizan Media Utama.
Susan, Novri.
2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu
Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Thung Ju Lan,
dkk. 2005. Penyelesaian Konflik di Aceh:
Aceh dalam Proses Rekonstruksi dan Rekonsiliasi. Jakarta: Riset Kompetitif
Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing – LIPI.
White, Brian. (2005). Diplomacy, dalam J.Baylish and Smith (eds). The Globalization of World Politics, 3rd edition. Oxford
University Press.
Jurnal
A. Holloway.
2000. Drought Emergency, Yes... Drougt
Disaster, No: Southern Africa 1991 – 1993. Cambridge Review of
International Affairs. Vol. 14 no. 1
pp. 254 - 276
A.J. Snyder.
2008. Is There a Silver Lining? Long –
term Changes in Interntaional Cooperation Levels After a Natural Disaster.
The University of Georgia.
Christa
Maciver. 2012. Disaster Diplomacy: A
Brief Review. SAI.
I. Ker-Lindsay.
2000. Greek – Turkish Rapprochement: The
Impact of “Disaster Diplomacy”?. Cambridge Review of International Affairs.
Vol. 14 No. 1 pp. 215 - 232
Kelman Illan.
2005. Tsunami Diplomacy: Will the 26
December, 2004 Tsunami Bring Peace to the Affected Countries?. Cambridge
University Centre for Risk in the Built Environment.
Kelman Illan.
2006. Island security and disaster
diplomacy in the context of climate change. Vol. 63, pp. 61 – 94
Kelman Illan.
2007. Disaster Diplomacy: Can treagedy
help build brides among countries?. UCAR Quarterly.
M.H. Galntz.
2000. Climate – related Disaster
Diplomacy: A US – Cuban Case Study. Cambridge Review of International Affairs.
Vol. 14 No. 1 pp. 233 – 253.
Ratih
Herningtyas dan Surwandoro. 2012. Diplomasi
Bencana Alam sebagai Saran Meningkatkan Kerjasama Internasional. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Website
“Sjahrir Tembus Blokade Belanda dengan Diplomasi Beras”
diakses melalui http://m.okezone.com/read/2015/05/17/337/1151082/sjahrir-tembus-blokade-belanda-dengan-diplomasi-beras