Jumat, 18 November 2016

TRADE DIPLOMACY, AID DIPLOMACY, DISASTER DIPLOMACY






Hilyatul Awaliah                                 2012 23 0100
Noviatin                                              2014 23 0047
Novi Putri Lestari                               2014 23 0057
Citra Novenia                                      2014 23 0054
Homsyah Nuru Aini                            2014 23 0048



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Diplomasi sebagai salah satu cara untuk dapat mencapai national interest suatu negara telah mengalami perkembangan yang cukup pesat seiring dengan perubahan zaman. Hal ini kemudian secara tidak langsung menggeser sedikit demi sedikit arah diplomasi suatu negara dari diplomasi tradisional yang berfokus hanya pada permasalahan high politics seperti isu perang, perjanjian perdamaian serta batas-batas negara; menjadi terfokus pada diplomasi modern yang membahas masalah low politics seperti isu ekonomi, sosial, isu kesejahteraan serta penghindaran terjadinya perang (White, 2005).
Diplomasi modern berkembang pada abad 21 yang merupakan lanjutan dari diplomasi tradisional. Berbeda dengan diplomasi tradisional terdahulu yang dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia untuk publik, diplomasi tradisional biasanya didominasi oleh peran pemerintah. Diplomasi modern dilakukan dengan lebih terbuka terhadap publik dan aktor yang menjalankan diplomasi modern tidak hanya pemerintah tetapi juga Inter-Governmental Organization (INGO), Non-Governmental Organization (NGO), Multinational Company (MNC) serta Individu (Baylish&Smith, 1998).
 Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai macam diplomasi yang ada di masa sekarang. Beberapa diantaranya ialah seperti diplomasi perdaganan (trade diplomacy), diplomasi bantuan (aid diplomacy) dan diplomasi bencana (disaster diplomacy). Dewasa ini, diplomasi-diplomasi tersebut kerap dilakukan oleh suatu negara tidak hanya untuk mencapai national interest mereka saja namun juga diplomasi ini dilakukan untuk meningkatkan jalinan kerjasama antar negara-negara yang bersangkutan.
Diplomasi ekonomi secara umum diartikan sebagai proses pengajuan kebijakan dan keputusan serta berbagai konsultasi tentang kemudahan dan prospek ekonomi guna mencapai tujuan dan kepentingan nasional, untuk dinegosiasikan agar dapat disepakati oleh negara lain, baik secara bilateral maupun multirateral. Diplomasi ekonomi secara luas diartikan oleh Rana (2007), sebagai suatu proses, melalui proses mana suatu negara menyelesaikan masalahnya dengan negara lain, guna memaksimalkan pendapatan dan perolehan negara melalui kegiatan ekonomi dan pertukaran ekonomi, baik secara bilateral, regional maupun multilateral. Diplomasi ekonomi biasanya merujuk kepada kepentingan untuk masalah perdagangan (ekspor/impor), investasi, pinjaman, pelaksanaan proyek pembangunan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi.
Sedangkan, diplomasi bencana atau disaster diplomacy menurut Kelman (2007) dalam literaturnya yaitu diplomasi bencana alam yang dipahami sebagai studi tentang bagaimana dan mengapa bencana alam berkontribusi terhadap perdamaian atau konflik yang diteliti, baik itu sebelum dan sesudah bencana terjadi. Saat terjadi bencana, disitulah munculnya peluang, dan bencana itu sendiri yang dapat menjadi sebuah peluang yang bermakna. Konsep dan pemahaman dari diplomasi bencana ialah dapat disinergikan dengan isu lokal dan nasional, sebagai bagian dari soft diplomacy yang menopang kerjasama dengan berbagai pihak dalam lingkup yang luas. Diplomasi bencana juga dapat diaplikasikan dalam hubungan baik dalam bentuk intra-state atau dapat juga diaplikasikan dalam hubungan inter-state.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.      Bagaimana ………….. Diplomasi Perdagangan?
2.      Bagaimana operasional Diplomasi Bantuan dalam Pemberian Bantuan Beras ke India?
3.      Bagaimana operasional Diplomasi Bencana dalam Konflik antara GAM dengan Indonesia?

1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pertanyaan penelitian makalah ini, maka tujuan dari penelitian makalah ini adalah:
1.      Untuk memberikan pengentahuan lebih mendalam mengenai definisi dari Diplomasi Perdangangan, Diplomasi Bantuan dan Diplomasi Bencana oleh suatu negara.
2.      Untuk memberikan pengetahun lebih mendalam mengenai operasional dari Diplomasi Bantuan dalam Pemberian Bantuan Beras ke India dan Diplomasi Bencana dalam Konflik GAM dengan Indonesia.
       

 
BAB II

KERANGKA TEORI


2.1    Trade Diplomacy (perdagangan dan ekonomi)
     Dewasa ini, ekonomi menjadi suatu hal yang sangat penting bagi suatu negara. Ekonomi yang kuat akan membuat suatu negara memiliki power tersendiri di dunia internasional. Diplomasi ekonomi dapat dimaknai sebagai salah satu instrumen penting dalam politik luar negeri suatu negara. Dalam konteks ini, hubungan luar negeri antarnegara dapat menjadi perekat hubungan politik. Maka dapat dikatakan bahwa, hubungan ekonomi dapat berperan sebagai faktor pengaruh dalam hubungan politik.

Ada tiga isu penting di dalam diplomasi ekonomi, yaitu:
1.      Hubungan antara ekonomi dan politik.
Isu ini mengacu pada kondisi di tengah perkembangan intensitas dan kompleksitas yang kian tinggi dari ketigaisu penting ini. Hubungan ekonomi dan politik kerap tidak dapat sejalan secara bersamaan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus yang menunjukan bahwa isu-isu politik menjadi penghambat hubungan atau diplomasi ekonomi yang dimiliki negara. Namun, dalam kasus yang lain juga terlihat bahwa hubungan ekonomi suatu negara dengan negara lain terbentuk secara efektif tanpa disibukkan oleh hubungan politik yang dimiliki suatu negara.


2.      Hubungan antara lingkungan dengan aneka tekanan domestik dan internasional.
Isu kedua dalam hal ini merujuk kepada tingkat ekonomi sebagai basis instrument kebijakan ekonomi luar negeri (economic foreign policy). Dalam konteks ini, tingkat kesiapan yang rendah kerap menjadi kerikil dalam meningkatkan diplomasi ekonomi suatu negara.

3.      Hubungan antara aktor negara dengan non-negara (aktor privat/swasta)
Isu yang terakhir dalam hal ini ialah mengenai kemampuan negara dan swasta dalam hubungan ekonomi atau perdagangan internasional. Semakin harmonis hubungan pemerintah (negara) dan swasta serta kian tingginya tingkat koordinasi hubungan antara aktor negara dan non-negara, akan memberikan dampak yang positif terhadap efektivitas diplomasi ekonomi yang dimiliki (www.tabloiddiplomasi.org, Februari 2011). 
     Diplomasi Ekonomi mengenai Perdagangan. Tidak dapat dihindarkan bahwa perdagangan dalam dunia internasional mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tren perdagangan global mendatang tidak hanya dipengaruhi oleh perdagangan barang saja, tetapi juga perdagangan jasa yang akan semakin mengingkat dan menjadi bagian yang cukup penting dari bagian pertumbuhan global. Hal ini terjadi karena adanya perkembangan jaringan produksi yang cangkupannya semakin meluas, tidak hanya regional tapi juga mencangkup internasional. Dapat dikatakan bahwa, dalam hal ini jasa berperan sebagai faktor pendukung dan penunjang suatu proses produksi, seperti jasa logistik dan distribusi, transportasi, dan keuangan.
2.2    Diplomasi Bantuan (Aid Diplomacy)
     Diplomasi Bantuan (Aid Diplomacy) sering kali dikaitkan dengan bentuk diplomasi publik. Dimana diplomasi bantuan ini juga mencerminkan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara untuk menjalin mitra kerjasama. Tidak mengherankan jika kemudian banyak negara yang memanfaatkan sarana bantuan kemanusiaan untuk mencari dukungan maupun merealisasikan politik luar negerinya. Melalui diplomasi bantuan inilah, negara mengupayakan cara untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya secara halus dan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan.
     Tujuan utama dari diplomasi ini adalah membangun sebuah image/citra internasional agar dapat membantu negara dalam mencapai kepentingan luar negeri. Hal ini didorong oleh kemajuan komunikasi yang membuat setiap orang semakin mudah mengetahui kejadian di tempat lain, opini orang lain serta perilaku orang lain. Perubahan situasi seperti ini membuat para pengambil kebijakan menyadari pentingnya memobilisasi opini atau persepsi publik melalui strategi tertentu yang memanfaatkan saluran-saluran komunikasi publik.
     Bahkan, para pemimpin negara kadangkala memotong jalur diplomasi tradisional dalam rangka membentuk opini yang lebih positif terhadap mereka, kebijakan nasional mereka atau bangsa mereka. Berkembangnya diplomasi bantuan ini sejalan dengan mulai munculnya isu-isu non tradisional yang tidak tertangani secara maksimal oleh pemerintah seperti lingkungan hidup, kemiskinan, HAM, demokrasi, bencana alam. Bantuan kemanusiaan juga merupakan salah satu alat politik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan citranya dimata internasional.
     Saat ini penanggulangan bencana sudah menjadi soft diplomacy antar negara. Sebab bencana sudah menjadi urusan bersama yang juga dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk berdiplomasi. Pada saat kejadian bencana besar, banyak negara-negara yang menerapkan soft diplomacy dengan alasan kemanusiaan.
     Menarik juga untuk memahami motivasi sebuah negara untuk memberikan bantuannya. Negara donor memberikan bantuannya pertama-tama karena hal tersebut memang untuk kepentingan politik, strategis dan/atau ekonomi mereka. Walaupun ada juga beberapa bantuan itu yang didorong oleh alasan-alasan moral dan kemanusiaan untuk membantu negara-negara yang kurang beruntung tanpa mengharapkan imbalan. Namun secara garis besar ada 2 motivasi yang mejadi dasar sebuah negara melakukan diplomasi bantuan yang pertama Motivasi Politik, Motivasi politik merupakan motivasi yang paling penting bagi negara-negara pemberi bantuan.
     Bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tangan panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara potensial berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Selanjutnya ada Motivasi Ekonomi, Dalam konteks prioritas strategi dan politik yang luas, program bantuan luar negeri negara-negara maju mempunyai rasional ekonomis yang kuat. Dalam kenyataannya walaupun motivasi politik mungkin merupakan yang utama, namun landasan yang bersifat ekonomis paling tidak merupakan alasan untuk membenarkan motivasi memberikan bantuan.

2.3    Diplomasi Bencana (Disaster Diplomacy)
     Sebagai salah satu bentuk diplomasi yang mampu meredam konflik antara pihak-pihak yang berlawanan, maka yang menjadi prioritas utama ialah memberikan bantuan baik dari segi moril maupun materil, agar pihak-pihak yang tengah berkonflik tersebut dapat mengenyampingkan konflik mereka. Walaupun hubungan antar negara yang didasari dengan upaya penangan suatu bencana alam, memang tidak akan bertahan lama. Namun, setidaknya melalui kerjasama yang ada dalam penanganan bencana alam ini, dapat meminimalisir kemungkinan meluasnya konflik yang terjadi (Island Security and Disaster Diplomacy in the Context of Climate Change, 2006).

     Kelman dan Koukis sebenarnya mendefinisikan diplomasi bencana alam sebagai sebuah studi tentang bagaimana, mengapa dan apakah bencana alam dapat memberikan kontribusi terhadap perdamaian atau konflik dengan melakukan penelitian saat sebelum dan setelah sebuah bencana. Saat sebelum bencana alam terjadi, disaster diplomacy membahas tentang pencegahan, mitigasi, dan upaya untuk memotong banyaknya korban jiwa. Berbanding terbalik ketika sudah terjadi bencana alam, disaster diplomacy membahas tentang bagaimana konflik dan perdamaian dipengaruhi oleh bencana alam (Kelman, 2012).
     Fenomena bencana alam mungkin tidak akan berdampak destruktif apabila upaya pencegahan, secara teknis maupun politis dapat dilakukan dengan baik. Kemudian, apabila fenomena tersebut dapat dikelola, kemungkinan besar bisa menguntungkan bagi negara yang terdampak. Dari situlah disaster diplomacy berjalan dengan cara mengambil peluang yang muncul dari fenomena yang terjadi (Kelman, 2007).
     Kelman menyadari bahwa diplomasi bencana alam biasanya berikut tiga hasil kemungkinan: jangka pendek, jangka panjang, dan efek yang diinginkan sebaliknya. Untuk hasil yang jangka pendek terjadi ketika bencana memberikan kesempatan baru negosiasi antara pihak yang saling berlawanan. Tujuan dari jangka panjang untuk menemukan bahwa anggapan yang telah ada sebelumnya merupakan faktor yang kuat dalam diplomasi. Terlepas dari hasil yang berpotensi negatif, fakta menunjukkan bahwa respon terhadap bencana alam biasanya membawa masyarakat yang saling berlawanan agar bersama-sama untuk waktu yang singkat (Disaster Diplomac: A Brief Review, 2012).
     Kemudian, Kelman juga menjelaskan bahwa diplomasi bencana alam membahas tentang aktivitas fenomena itu sendiri yang tidak hanya sebatas lingkup hubungan internasional, namun juga lebih dalam mencapai kepada konflik politik alam sebuah negara merdeka (Geoforum, 2008). Menurut Synder, diplomasi bencana alam benar-benar memiliki keuntungan dalam hubungan internasional, sebab dengan adanya bencana alam sebuah negara dapat menilai bagaiman kebijakan dari negara lain yang memberikan respon terhadap bencana alam tersebut (A.J, Synder, 2008). Selain iut, Synder juga menambahkan bahwa disaster diplomacy yang dilakukan antar negara yang memiliki tujuan untuk meningkatkan soft power.
     Keuntungan yang dapat diambil dari soft power sebagai basis kekuatan diplomasi ialah lebih efisien secara biaya dibandingkan dengan strategi “carrot and stick” yang mendasarkan kepada paksaan. Selain itu, negara yang sering melakukan foreign aid sebagai kontribusinya dalam penanganan bencana alam akan dihormati dan dituakan. Maka dari itu, secara tidak langsung dapat meningkatkan posisi tawar negara pemberi bantuan dalam interaksinya di dunia internasional.
1.      Brief History of Disaster Diplomacy
           Aspek diplomasi bencana alam telah lama dipelajari dan diterapkan. Untuk bencana yang melintasi batas negara, dari kota-kota perbatasan Eagle Pass, Texas, USA Dan Piedras Negras, Coahuila, Meksiko melkukan penyelidikan banjir yang melintasi perbatasan di sungai Rio Grande pada 27 sampai dengan 30 Juni 1954. Kajian sosiologi Clifford menjelaskan tentang pola individu dan organisasi yang merespon terhadap bencana alam banjir tersebut.
           Clifford menyimpulkan untuk lebih berfokus pada porositas yang nyata dari perbatasan dalam kaitannya dengan interaksi sosial. Kedua individu baik informal mapupun lembaga-lembaga yang formal dipandang sebagai hal yang penting dalam membantu masyarakat untuk merespon bencana ini. Secara khusus, 'bencana alam bertindak sebagai katalisator, dalam arti, yang tiba-tiba membawa banyak bidang hubungan ke fokus lebih yang tajam' (Clifford, 1956).
           Dua puluh tahun kemudian Quarantelli serta Dynes (1976) menyimpulkan bahwa kebanyakan konflik yang muncul dalam kegiatan pasca bencana sama dengan konflik pra-bencana alam dalam masyarakat. Munculnya kembali konflik tersebut dapat dilihat sebagai bukti masyarakat pulih dari bencana alam yang terjadi. Bahkan dapat memperkuat menigkatkan kesatuan masyarakat yang dihasilkan selama keadaan darurat. Pasca bencana alam menigkatkan kesatuan masyarakat seiring dengan perbaikan moral akibat bencana dan tanggap bencana. Namun bencana alam yang diperiksa tidak memiliki tingkat kematian yang tinggi dan kerusakan yang meluas di seluruh lapisan masyarakat (Quarantelli dan Dynes, 1976).
           Kemudian, Kelman dan Koukis (2000) memulai upaya sistematis dengan mendokumentasikan dan menganalisis diplomasi bencana melalui empat makalah. Makalah-makalah tersebut ialah Ker-Lindsay (2000) meneliti Yunani - Turki, Glantz (2000) meneliti Cuba - Amerika Serikat, Holloway (2000) menyelesaikan analisis komparatif dari tiga studi kasus yang menggunakan kerangka sistem adaptif kompleks. Kelman menyarankan berdasar pada pemulihan hubungan Yunani - Turki yang muncul akibat dari gempa bumi di Turki pada Agustus 1999 dan gempa bumi di Yunani pada September 1999 (Kelman, 2012).


 BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Aid Diplomacy (Bantuan Beras ke India)
     Indonesia memutuskan untuk menawarkan India beras dimulai sejak tanggal 28 April 1946 karena Indonesia ingin membuktikan kepada Belanda atas berita bahwa Indonesia sedang mengalami bencana kelaparan. Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir berpikir keras, bagaimana caranya untuk menembus blokade ekonomi Belanda, menyanggah propaganda Belanda soal krisis ekonomi dan pangan, sekaligus menegaskan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan RI. Medio 1946, Belanda tengah ketat-ketatnya memblokade RI untuk bisa berdagang dengan negara lain. Sjahrir pun mencetuskan inisiatif yang di kemudian hari sangat vital dan cemerlang buat pengakuan RI terhadap negara-negara lain, terutama sesama bangsa Asia, yakni lewat “diplomasi beras”.
     Tentunya pemerintah RI harus meyakinkan dulu pada segenap rakyat untuk mau merelakan sejumlah beras saat itu, untuk dikirim sebagai bantuan kepada salah satu negara sahabat, India. Hal itu juga disampaikan pada Jawaharlal Nehru pada 13 Mei 1946. Bantuan beras yang diajukan Indonesia mulai dibicarakan oleh Perdana Menteri Sjahrir dengan K.L punjabi, yaitu wakil pemerintahan India yang diutus oleh Jawaharlal Nehru yang pada saat itu adalah Perdana Menteri India pada tanggal 18 sampai 19 Mei 1946 di Jakarta. Dalam perundingan ini, pemerintah Indonesia menungu kedatangan kapal pengangkut India yang yang akan mengangkut beras dari Indonesia ke India.
     Proses diplomasi tersebut dilakukan oleh P.M Indonesia, Sutan Sjahrir melalui sebuah perjamuan makan untuk K.L. Punjabi. Dalam perjamuan makan tersebut K.L. Punjabi menyetujui pengiriman beras ke India.  Persetujuan pemberian bantuan 500 ribu ton beras pun tercapai dan sebagai “tanda jadi” persetujuan itu, PM Sjahrir menyerahkan sekeranjang beras yang ditutupi dengan bendera merah putih, untuk kemudian diberikan pada Raja Muda Lord Wavell di India.
     Sebuah kepanitiaan pun dibentuk pada 27 Mei 1946 dengan diketuai Ir. Subianto. India merespons pula dengan mengirim empat kapal ke Indonesia yang akan jadi sarana mengirim beras dari Pelabuhan Cirebon, Probolinggo dan BaMau nyuwangi ke India. Jawatan Kereta Api juga ikut memberi kontribusi dengan mengangkut sejumlah beras yang terkumpul, termasuk 15 ton dari Badan Perekonomian Rakyat Indonesia di Karawang, dan diantarkan ke pelabuhan Cirebon. Pengiriman bantuan itu berhasil dilakukan pada 20 Agustus 1946. Sebagai balasannya, India mengirimkan bahan-bahan pakaian, obat-obatan, serta alat-alat pertanian. India juga kian simpati pada perjuangan rakyat Indonesia, dengan melarang sejumlah pesawat, serta kapal Belanda yang hendak singgah ke India.
     “Diplomasi Beras” itu kemudian jadi satu titik pengekalan hubungan persaudaraan Indonesia-India, terutama sesama bangsa Asia yang sama-sama tengah memperjuangkan kemerdekaannya. Diplomasi itu dengan cepat meraih simpati dari negara-negara lainnya, termasuk Australia yang sedianya, sempat menyediakan “ruang” untuk pembentukan NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), balik mendukung perjuangan Indonesia (http://m.okezone.com/read/2015/05/17/337/1151082/sjahrir-tembus-blokade-belanda-dengan-diplomasi-beras).
     Seperti yang sudah dijelaskann bahwa tujuan utama Indonesia melakukan diplomasi beras dengan bantuan beras yang di kirim indonesia ke India adalah sebagai upaya melepaskan diri dari blokade ekonomi yang dilakukan Belanda. Karena dengan adanya diplomasi beras membuktikan bahwa Indonesia mampu menghasilkan surplus ditengah krisis ekonomi dan membuktikan bahwa di Indonesia tidak ada bahaya kelaparan, seperti yang dikatakan oleh pihak NICA.
     Diplomasi bantuan dapat dikatakan sebagai salah satu jalan untuk membangun mitra kerjasama yang baik antar negara juga mendukung hubungan persaudaraan antar negara. Hal ini ditunjukan bahwa tiap negara memiliki potensi untuk saling membantu guna melancarkan kepentingan negara satu sama lain. Diplomasi bantuan ini juga bukan hanya sekedar memberi bantuan tetapi dibalik memberi bantuan pasti ada tujuan tertentu dimana suatu negara membutuhkan dukungan dari pihak yang di bantunya.     Misalnya diplomasi beras yang dilakukan dimana indonesia memberikan bantuan ke india yang sedang di landa kelaparan. Dengan jalannya diplomasi bantuan tersebut juga membuat Indonesia diakui kemerdekaannya oleh negara-negara lain karena waktu negara-negara asing lainnya belum mengetahui bahwa ada sebuah negara bernama Indonesia karena Indonesia baru saja memerdekakan diri. Hal ini dapat terjadi karena ada bantuan dari pihak India yang membantu Indonesia di forum-forum Internasional seperti di PBB mengenai kemerdekaan Indonesia.

3.2    Disaster Diplomacy (GAM – Indonesia)
     Lahirnya pemberontahan yang berkahir kepada Gerakan Aceh tidak terlepas dari adanya pro dan kontra dalam kalangan tokoh-tokoh Aceh yang dimana mempertanyakan bahwa apakah Aceh ikut bergabung ke dalam Republik Indonesia dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Kemudian, munculnya kekecewaan dari rakyat Aceh dimana saat berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada Agustus 1950 yang memutuskan bahwa wilayah Indonesia dibagi dalam 10 provinsi yang mana Aceh tergabung ke dalam provinsi Sumatera Utara. Karena, sebelumnya Tengku Daud Beure’uh sebagai ketua umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia juga turut untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda, maka dari itu dilakukanlah negosiasi dengan pemerintah pusat yang membahas tentang otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam (Sihbudi, 2001).
     Dengan hasil keputusan tersebut, keinginan rakyat Aceh agar menjadi wilayah syariat Islam tidak dapat ditawar lagi, yang akhirnya kekecawaan tersebut diwujudkan ke dalam bentuk tentara Darul Islam Tentara Islam Indonesia di Aceh pada 1953 (Nurhasim, et al, 2003). Kemudian, pada periode Hasan Tiro yang membentuk sekelompok intelektual yang kecewa terhadap model pembangunan di Aceh, yang akhirnya melakukan proklamasi atas kemerdekaan di Aceh pada Desember 1976 dan memproklamirkan sebagai kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagai wilayah yang melimpah atas sumber daya alamnya, Aceh memberikan daya tarik kepada salah satu investor gas alam cair Liquefied Natural Gas (LNG), yang berakhir dengan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi akibat dari penekanan oleh pemerintah Orde Baru terhadap pertumbuhan ekonomi yang mendorong penggalakan eksploitasi.
    Dari pembangunan pabrik yang mengarah kepada datangnya para pendatang ke Aceh, terutama dari pulau Jawa yang dianggap lebih mahir dibanging rakyat Aceh. Ditambah, selain adanya ketimpangan etnis, rakyat Aceh juga mulai menyadari bahwa hasil tambang bumi mereka lebih banyak dibawa ke Jakarta dibandingkan dengan yang mereka miliki. Namun, dengan munculnya kelompok ini, ditanggapi secara represif Soeharto yang dimana pada 1989  menggelar operasi gabungan yaitu operasi bakti dan operasi militer dengan mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk menumpas pemberontakan GAM.
    Pendekatan militer tersebut dikenal dengan istilah Daerah Operasi Militer (DOM) yang dibangun dengan tujuan agar proses pembangunan Indonesia tidak mengalami gangguan. Pendekatan militer yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan terjadinya kekerasan pada periode DOM dari tahun 1989 sampai dengan 1995 di Aceh. Akhirnya, membuat kelompok GAM melakukan perjalanan keluar dan melanjutkan perjuangannya di luar Aceh, seperti di Malaysia, Libya, dan Jenewa (Nurhasim, et al, 2003).
Mediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI)
    CMI merupakan sebuah organisasi internasional non-pemerintah berasal dari kota Hdelnski, Finladia dan berdiri pada tahun 2000. Berfokus pada bidang resolusi konflik yang memiliki beberapa tujuan yaitu untuk membantu masyarakat internasional agar dapat keluar dari isu-isu seperti isu kemanusiaan sampai isu pembangunan serta keamanan. Alasan mengapa Indonesia memilih CMI sebagai mediator antara konflik GAM ialah karena kesamaan paham dengan Indonesia, bahwa dalam menyelesaikan separatisme di Aceh yang dimana dapat ditentukan bahwa konsep yang memunginkan untuk digunakan yaitu konsep otonomi khusus.
    Kesamaan paham tersebut pun terbukti dalam rentang tiga tahun, CMI berhasil mebawa kedua pihak yang berkonflik untuk duduk bersama merumuskan perjanjian perdamaian dan menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu diantaranya ada; 1) penghentian perjanjian permusuhan antara kedua pihak; 2) pencabutan status daerah operasi militer; dan 3) bersamaan dengan kesepakatan yang kedua, GAM akhirnya menyerahkan seluruh persenjataannya dan membubarkan 3.000 pasukan.
    Pada tahun 2002, negosiasi mengarah kepada Kesepakatan Penghentian Permusuhan antara GAM dan Indonesia, tetapi perjanjian tersebutj hanya bertahan beberapa bulan sebelum akhirnya pecah kemballi pada awal tahun 2003 (Kelman, 2005). Pada tahun 2004, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Indonesia saat itu, diminta untuk melakukan pendekatan dengan para pemimpin GAM terkait perdamaian untuk mengakhiri konflik. Menyadari tentang hal-hal yang dapat merusak baik di dalam parlemen dan angkatan bersenjata, Kalla pun mengirim Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Farid Husain untuk berbicara secara diam-diam dengan para pemipin GAM, baik yang berada di Aceh maupun yang berada di luar negeri.
    Kemudian, pada 2004 terjadilah bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh yang akhirnya menciptakan situasi yang kondusif bagi penyelesaian konflik kedua pihak. Baik GAM maupun Indonesia menyadari prioritas penanggulangan dan rekonstruksi akibat dari bencana gempa serta tsunami di Aceh. Ditambah, dengan jatuhnya korban yang mencapai sekitar 180.000 orang dan lebih dari 500.000 warga kehilangan tempat tinggal serta rusaknya berbagai infrastruktur utama di Aceh, menjadi pendorong utama bagi kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan (Diplomasi Bencana Alam sebagai Saran Meningkatkan Kerjasama Internasional, 2014).
    Akhirnya pada 2005, kedua pihak sepakat untuk melakukan penandatanganan Nota Kesepakatan di Helsinki, Finlandia (Susan, 2009). Tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dengan GAM secara resmi menandatangani perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki (Husain, 2007). Perundingan perdamaian antara Indonesia dengan GAM dimulai dari tahap pertama 27 - 29 Januari 2005 sampai dengan tahap kelima 12 – 17 Juli 2005 (Ju Lan, 2005).

1.      Putaran Perundingan Helsinki Tahap I
Pada perundingan yang pertama ini menghasilkan sebuah kesepakatan baik dari pemerintah Indonesia maupun pihak GAM, dapat mempertahankan hal prinsipil bagi kedua pihak, di sisi lain, kedua pihak juga saling melepaskan tuntutan-tuntutan lainnya. Seperti yang tertera dalam MoU Helsinki, dinyatakan bahwa NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan GAM menghentikan perlawanan serta menyerahkan persenjataannya atau dengan kata lain, GAM telah meninggalkan tuntutannya untuk merdeka (Husain, 2007).
Kemudian, pada tangal 28 Januari 2005, tercapai satu landasan yang bersamaan dengan perlunya suasana damai untuk memberikan kesempata penyaluran bantuan bagi korban tsunami. Fokus pembicaraan pada hari kedua perundingan yaitu lebih tertuju kepada usaha untuk mendukung lancarnya penyaluran bantuan kemanusiaan terkait bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh (Kingsbury, 2006). Namun, pada hari ketiga perundingan, situasi kembali memanas dikarenakan Indonesia tetap menyampaikan bahwa genjatan senjata dapat disetujui dengan syarat agar GAM menyetujui Otonomi Khusus yang disertakan dengan pemberian amnesti penuh dari pemerintah Indonesia, selain itu, pemerintah Indonesia juga menjanjikan pengadaan lapangan kerja atau tanah untuk anggota GAM.
Akhirnya, hari ketiga perundingan tidak memberikan kesepakatan apapun termasuk dengan ancaman gagalnya perundingan damai Helsinki. Tujuan dari pertemuan itu adalah untuk membangun kembali dialog antara kedua pihak yang berkonflik setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004. Marttin Ahtiasaari menyerukan untuk dihentikannya pertempuran agar dapat tersalurkannya batuan internasional. Pertemuan tersebut juga diadakan selain untuk membuat kedua pihak duduk di meja perundingan, pertemuan tersebut juga diadakan dalam rangka untuk membangun kepercayaan dan mengidentifikasi landasan guna memudahkan langkah pembicaraan selanjutnya.

2.      Putaran Perundingan Helsinki Tahap II
Pada 21 Februari 2005, kedua pihak antara GAM dengan Indonesia kembali mengadakan pertemuan untuk membicarakan penyelesaian masalah Aceh. Pada perundingan yang kedua, delegasi Indonesia menawarkan substansi substasi Otonomi khusus yang mencakup pemilu provinsi partisipasi GAM dalam pemilu. Namun akhirnya, kedua pihak sepakat terhadap konsep ‘pemerintahan sendiri’ atau otonomi khusus. Pada hari ketiga perundingan, CMI mengajukan agenda yang akan dibahas dalam putaran berikutnya seperti: otonomi khusus atau selfgovernment, pemilihan provinsi dan pemilihan lokal, partai politik lokal, pengaturan ekonomi, amnesti, pengaturan keamanan, monitoring dari pihak luar, dan dialog dalam masyarakat Aceh sendiri untuk menghindari adanya kesalahpahaman.

3.      Putaran Perundingan Helsinki Tahahp III
Pada perundingan yang ketiga ini, CMI lebih banyak berperan sebagai fasilitator pertemuan dari kedua pihak dan menyediakan berbagai macam kebutuhan agar perundingan berlangsung dengan kondusif dan maksimal. Ahtisaari juga memberikan penekanan terhadap topik pembicaraan dalam perundingan. Pertama, self-government di dalam kerangka otonomi khusus Republik Indonesia. Kedua, partisipasi politik, yaitu adanya pemilihan lokal yang dimonitor. Ketiga, adanya dialog dalam masyarkat Aceh sendiri (Awaludin, 2008).
Dalam pembahasan Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh yang didalamnya terdapat pengaturan ekonomi dan pengaturan politik. Dari proposal yang diajukan GAM dalam bidang ekonomi, setidaknya mengajukan lima hal penting, diantaranya:
a.       Kewenangan pemerintahan Aceh untuk mengelola SDA seperti minyak, gas, dan bahkan air bersih.
b.      Kewenangan dalam bidang perdagangan, termasuk perdagangan luar negeri.
c.       Masalah penanganan pariwisata.
d.      Kewenangan mengelola pelabuhan udara dan laut.
e.       Masalah kewenangan mengelola pendidikan di Aceh, termasuk pengirimin pelajar Aceh ke luar negeri.

Pemerintah Indonesia pun juga memberikan beberapa tuntutan terhadap GAM, dinataranya:
a.       Menjalankan prosedur pemerintahan secara konsisten terhadap semua produk hukum, terkait dengan Otonomi Khusus.
b.      Menyerahkan minimal 900 buah senjata.
c.       Menyerahkan pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri.

Akhirnya, tercapai lah kesepakatan antara kedua belah pihak terkait dengan beberapa isu vital sebagai berikut:
a.       Kedua belah pihak memandang bahwa penyelesaian secara permanen dan komprehensif dalam konflik Aceh (Both parties seek a permanen and comprehensive solution with dignity for all)
b.      Menegosiasikan definisi kerangka dari struktur administratif Aceh (The negotiations will seek to define the framework for the local administrative structure of Aceh)
c.       Eksplorasi atas partisipasi lokal dalam pemilu (The negotiations will explore the form of participation in local elections)
d.      Mendefinisikan secara rinci mengenai amnesty (The negotiations will define the details of providing amnesty)
e.       Transportasi dalam hal pendapatan dan alokasi dana antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh (Transparency will be enhanced for the collection and allocation of revenues between the central government and Aceh)
f.       Kedua belah pihak membuka peluang bagi regional organisasi untuk memonitor komitmen yang akan disepakati oleh kedua pihak (Both parties welcome the possible involvement of regional organizations in monitoring the commitements that wil be undertaken by the parties in the agreement)
g.      Kedua belah pihak tidak akan melakukan pergerakan pasukan selama proses perundingan berlangsung (Both parties will not do their security forces in the field during the negotiations process) (Hamid, 2006).

4.      Putaran Perundingan Helsinki Tahap IV
Dalam perundingan yang ke empat ini membahas tentang partisipasi politik dan keamanan dalam kerangka self government (Ju Lan, 2005). Kemudian, dalam perundingan ini juga CMI mengajukan pembentukan misi pengawasan oleh Uni Eropa dengan menunjuk kepala misi pengawasannya, Pieter Feith. Akhirnya, CMI pun mulai menyiapkan draft Nota Kesepahaman yang dibahas dalam perundingan ke lima.

5.      Putaran Perundingan Helsinki Tahap V
Mesikpun kedua kubu berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda, namun tidak semuanya berjalan lancar. Dimana dengan adanya keinginan GAM agar Nanggroe Aceh Darussalam diperbolehkan untuk mendirikan partai politik lokal. Tetapi usul tersebut bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik, yang mengharuskan setiap partai berpusat di Jakarta, dan tidak mempunyai cabang di sebagian wilayah provinsi Indonesia.

Dalam suasana yang hampir “deadlock” tersebut, maka terjadilah beberapa kali pertukaran draft dan diskusi mengenai pembentuan partai lokal yang sampai kepada kesepakatan dimana Indonesia akan memfasilitasi pendirian partai lokal setelah perdamaian ditandatangani (Kingsbury, 2006). Akhirnya, baik dari pihak GAM dan pemerintah Indonesia sepakat untuk melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005.
Kemudian, untuk mengakomodasi tuntutan pendirian partai politik lokal, akhirnya pemerintah Indonesia menawarkan beberapa pilihan diantaranya:
a.       Memberikan kesempatan kepada para anggota GAM untuk menduduki posisi politik,
b.      Memberikan kesempatan kepada pemimpin GAM untuk menjadi kandidat kepala daerah dari partai politik yang ada di Indonesia, atau
c.       Menjadikan GAM sebagai partai politik yang berstruktur atau bersifat nasional. Namun usulan tersebut ditolak oleh GAM, mereka tetap bersih kukuh untuk mendirikan partai lokal (Hamid, 2006).

       Dari perundingan-perundingan tersebut dapat disimpulkan hasil dari mediasi  Aceh yang dilakukan oleh CMI yaitu sebagai berikut:
a.       Bagi kedua pihak yang bertikai
Adanya kesepakatan damai berupa Memorandum of Understanding (MoU), kedua pihak pun puas dengan hasil yang telah disepakati, hubungan antara kedua pihak pun membalik, dan pengadilan Hak Asasi Manusia pun akan dibentuk untuk Aceh yang tertuang dalam MoU pasal 2.

b.      Bagi Mediator
Dengan berhasilnya CMI untuk membuat kedua pihak duduk bersama di meja perundingan dan akhirnya mencapai kesepakatan perdamaian yang ditandatangi pada 15 Agustus 2005, secara otomatis telah meningkatkan status CMI di mata dunia internasional sebagai suatu organisasi internasional yang mampu menyelesaikan konflik internal di suatu negara. Ketika


 BAB IV

PENUTUP

4.1    Kesimpulan
     Trade diplomacy atau diplomasi ekonomi dapat diartikan sebagai salah satu instrumen penting dalam politik luar negeri suatu Negara, dimana hubungan luar negeri antarnegara dapat menjadi perekat dalam hubungan politik. Tiga isu penting dalam diplomasi ekonomi yaitu; 1) Hubungan antara ekonomi dan politik; 2) Hubungan antara lingkungan dengan aneka tekanan domestik dan internasional; dan 3) Hubungan antara aktor negara dengan non-negara (aktor privat/swasta). Aid diplomacy atau diplomasi bantuan dimana negara mengupayakan sebuah atau berbagai cara untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya secara halus, tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Diplomasi ini bertujuan agar dapat membangun sebuah image/citra dari dunia internasional internasional dalam mencapai kepentingan nasional suatu negara. Disaster diplomacy atau diplomasi bencana ialah bentuk diplomasi yang mampu meredam konflik antara pihak berlawanan, dengan cara memberikan bantuan baik dari segi moril maupun materil, agar setiap pihak yang tengah berkonflik tersebut dapat mengenyampingkan konflik mereka. Ketika terjadi bencana, disitulah munculnya peluang, dan bencana itu sendiri yang dapat menjadi sebuah peluang yang bermakna.

 DAFTAR PUSTAKA
Buku
Awaludin, Hamid. 2008. Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI – GAM di Helsinki. CSIS.
Baylish, John & Smith Steve. (1998). The Globalization of World Politics: An Introduction to Innternational Relation. New York: Oxford University Press.
Elsevier. 2008. Wave of peace? Tsunami disaster diplomacy in Aceh, Indonesia. Geoforum.
Illan, Kelman. 2012. Disaster Diplomacy: How disasters affect peace and conflict. London and Newyork: Routledge.
Kingsbury, Damien. 2006. Peace in Aceh. Singapur: Ecolnox Publishing Asia.
Hamid, Farhan. 2006. Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh. Jakarta: Suara Bebas.
Husain, Farid. 2007. To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh. Jakarta: Health and Hospital.
Nurhasim, Mochammad. 2003. Konflik Aceh. Jakarta: LIPI
Rana. (2007). Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries, Chapter 11, dalam Nicholas Bayne, and Stephen Woolcock. The New Economic Diplomacy: Decision Making and Negotiating in International Economic Relations, 2nd edition. London: Ashgate.
Sihbudi, Riza, ed. (2001). Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal. Bandung: Mizan Media Utama.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Thung Ju Lan, dkk. 2005. Penyelesaian Konflik di Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi dan Rekonsiliasi. Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing – LIPI.
 White, Brian. (2005). Diplomacy, dalam J.Baylish and Smith (eds). The Globalization of World Politics, 3rd edition. Oxford University Press.

Jurnal
A. Holloway. 2000. Drought Emergency, Yes... Drougt Disaster, No: Southern Africa 1991 – 1993. Cambridge Review of International Affairs. Vol. 14 no. 1 pp. 254 - 276
A.J. Snyder. 2008. Is There a Silver Lining? Long – term Changes in Interntaional Cooperation Levels After a Natural Disaster. The University of Georgia.
Christa Maciver. 2012. Disaster Diplomacy: A Brief Review. SAI.
I. Ker-Lindsay. 2000. Greek – Turkish Rapprochement: The Impact of “Disaster Diplomacy”?. Cambridge Review of International Affairs. Vol. 14 No. 1 pp. 215 - 232
Kelman Illan. 2005. Tsunami Diplomacy: Will the 26 December, 2004 Tsunami Bring Peace to the Affected Countries?. Cambridge University Centre for Risk in the Built Environment.
Kelman Illan. 2006. Island security and disaster diplomacy in the context of climate change. Vol. 63, pp. 61 – 94
Kelman Illan. 2007. Disaster Diplomacy: Can treagedy help build brides among countries?. UCAR Quarterly.
M.H. Galntz. 2000. Climate – related Disaster Diplomacy: A US – Cuban Case Study. Cambridge Review of International Affairs. Vol. 14 No. 1 pp. 233 – 253.
Ratih Herningtyas dan Surwandoro. 2012. Diplomasi Bencana Alam sebagai Saran Meningkatkan Kerjasama Internasional. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
   
Website
“Sjahrir Tembus Blokade Belanda dengan Diplomasi Beras” diakses melalui http://m.okezone.com/read/2015/05/17/337/1151082/sjahrir-tembus-blokade-belanda-dengan-diplomasi-beras