Jumat, 11 November 2016

DIPLOMASI PERUNDINGAN, PERJANJIAN DAN PERSETUJUAN, PROSES DIPLOMASI




Disusun oleh:
Nizar Maulana Rifan                        2013130006
Deny Rianzah Rojudin                     2013130008
Rati Devianasari                                2013130073
Virliana                                              2013130090
Agustin Ratna Sari                           2014230103
Esiviana Eka Suci                             2014230104
Zahira Nada Firas                             2014230111
Fenny Deskintani                              2014230112
Elveni Zarima                                    2014230118
Dekki Nur Hidayat                           2014230119
Martha Maghfiroh                            2014230121
Dede Ayu Putri                                 2014230122
Mazayu Adliah                                  2014230123
Umia Nurmalani                               2014230124
Amos Ivan                                          2014230128
Adilla Viona Gheovany                    2014230131
Adriana Rahmawati                         2014230142
Gary Izack Lekahena                       2015230056





BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah
Diplomasi berasal dari bahasa Yunani, diploun yang memiliki arti adalah sebuah kertas yang dilipat dan di desain sebagai dokumen resmi negara, dokumen sejarah, sebuah sertifikat perundingan, kewenangan dan semacamnya. Diplomasi erat kaitannya dengan negara sebagai salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan politik luar negeri.
Menurut Ellis Briggs (1968) menjelaskan bahwa diplomasi adalah sebuah kegiatan urusan official dengan cara mengirim seseorang untuk mewakili pemerintahan. Tujuan diplomasi adalah untuk menciptakan persetujuan dalam kacamata kebijakan.
David W. Ziegler (1984: h. 272) menekankan bahwa diplomasi merupakan mesin atau alat politik luar negeri sebuah negara. Pentingnya diplomasi ini sangat vital dalam mengkomunikasikan sesama negara–negara dunia untuk menjaga perdamaian dunia. Karena memang salah satu faktor pecahnya perang (war) dikarenakan tidak adanya komunikasi antar negara yang bertikai, seperti kasus perang dunia.
Diplomasi dilakukan untuk menjalin, mempererat dan meningkatkan hubungan antara suatu negara dengan negara lain guna mencapai kepentingan bersama, dengan cara mengutus seorang perwakilan negara atau diplomat. Di dalam proses diplomasi juga terdapat komunikasi yang terjadi di antara para perwakilan negara. Komunikasi merupakan proses penyampaian isi pernyataan dari komunikator kepada komunikan dengan tujuan komunikan atau target dapat mengerti dan memahami maksud dan dari komunikator. Oleh karena itu, diplomasi dan komunikasi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena perwakilan negara atau diplomat dituntut untuk dapat memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga tujuan yang dibawa oleh perwakilan negara tersebut dapat tercapai demi kebaikan bersama tanpa membuat adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Berdasarkan ruang lingkupnya, diplomasi diciptakan untuk dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses. Dengan menggunakan berbagai macam pilihan cara berdiplomasi seperti melalui kerjasama, penyesuaian serta pertentangan. Pertentangan dengan cara menunjukan kekuatan atau perang merupakan pilihan terakhir dari proses diplomasi apabila negosiasi yang dilakukan tidak berhasil.
Dalam diplomasi juga terdapat perundingan, perjanjian dan persetujuan serta proses-proses saat berlangsungnya kegiatan diplomasi berlangsung. Untuk mengetahui lebih lanjut, penulis berusaha untuk menjelaskan satu persatu mengenai bahasan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      TAHAP PERUNDINGAN DIPLOMASI
Negosiasi merupakan upaya oleh dua orang atau kelompok yang sedang dalam perselisihan untuk mencapai solusi yang diterima masing-masing pihak. Kaitannya dengan diplomasi, negosaisi merupakan salah satu teknik untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan mampu memajukan kepentingan nasional. Solusi terbaik dari proses negosiasi ini adalah win-win solution dimana kesemua pihak merasa puas dengan hasil yang didapat. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan adanya tahap-tahap yang mengikuti alur proses negosiasi itu sendiri.
Pertama adalah tahap persiapan, yakni tahap terpenting yang harus dipersiapkan seorang negosiator karena dalam tahap ini dapat menentukan 80% faktor keberhasilan negosiasi (Susilo, 2014). Selanjutnya adalah tahap perundingan yang dibagi lagi kedalam tiga proses yakni presentasi, pembahasan, dan bargaining. Kemudian hasil dari tahap perundingan dapat dilihat di tahap closure yang menghasilkan output yang bervariasi bergantung pada kelihaian negosaitor dalam tahap-tahap sebelumnya. Pada tulisan kali ini, penulis akan menjelaskan tahap perundingan dan output dari negosiasi.
Tahap perundingan diawali dengan tahap presentasi yang dilakukan oleh negosiator untuk menjelaskan posisi, power, kepentingan, serta harapan mereka terhadap permasalahan yang dihadapi (Susilo, 2014). Pada fase ini, negosiator akan mengelaborasi informasi yang telah didapatkan sebelumnya dalam rangka mendukung posisi mereka. Tahap ini menjadi penting karena negosiator akan menjelaskan pokok persoalan dari sudut pandang mereka. Presentasi harus dilakukan dengan jelas dan tegas untuk menyatakan posisi masing-masing pihak. Dalam halnya, masing-masing pihak harus mendengarkan secara seksama tanpa adanya interupsi atau penghakiman dalam tahap ini.
Body Language juga menjadi aspek penting, tidak hanya dalam tahap presentasi namun dalam tahapan selanjutnya seperti pembahasan, bargaining, hingga closure. Bahasa tubuh akan menggambarkan integritas negosiator dalam menjalin hubungan dengan yang lain. Penggunaan eye-contact, cara berbicara, cara berdiri, hingga gaya presentasi akan memberikan bentuk gambaran terhadap image yang akan dibangun oleh negosiator. Image tersebut tidak selalu bersifat ramah ataupun kooperatif, hal ini bergantung pada tujuan dan strategi yang dipilih negosiator. Tidak hanya memperhatikan body language diri sendiri, negosiator juga dapat memperhatikan bahasa tubuh pihak lawan untuk membaca gerakan selanjutnya, apakah lawan merasa tertarik, bosan, atau bahkan menunjukan sikap penolakan.
Selanjutnya, dalam tahap pembahasan negosiator akan mengarah pada penjelasan lebih lanjut mengenai substansi masalah yang ada serta mempengaruhi satu sama lain melalui statement dan argumentasi dengan berbagai strategi (Salamah, 2014). Tahap ini membutuhkan keahlian pendengaran dan komunikasi yang baik, karena setiap setuju dari pihak lawan akan memudahkan kelanjutan proses negosiasi yang mengarah pada situasi kolaboratif. Eksplorasi juga identik dalam tahap pembahasan, dimana negosiator akan berbagi informasi dengan lebih dalam serta mempelajari apa yang masing-masing inginkan secara lebih jelas. Dalam halnya, eksplorasi tidak hanya menemukan informasi, namun dapat menetapkan iklim untuk negosiasi selanjutnya apakah akan bersifat kompetitif atau kolaboratif (Scott, 1988). Tahap pembahasan sendiri umumnya diimplementasikan sebagai sebuah proses diskusi yang memilki pengertian dengan  cara bertukar pikiran dan  mengeluarkan gagasan pendapat antara dua orang atau lebih secara lisan.
Diskusi dibagi ke dalam empat tahap, yaitu komunikasi, pertanyaan, analisis signal, dan penyajian argumentasi (Heron dan Vandenabeele 1998). Kegiatan diskusi dalam tahap pembahasan ini bertujuan untuk memperoleh suatu kesepakatan, pengertian, dan keputusan bersama tentang suatu permasalahan yang dibahas dalam perundingan. Kunci keterampilan yang harus dimiliki dalam tahap ini adalah questioning, listening dan clarifying. Pertanyaan dibutuhkan untuk penjelasan lebih lanjut mengenai masalah atau perselisihan yang ada. Sedangkan pendengaran menjadi aspek penting untuk menghindari adanya kesalahpahaman akibat berbicara terlalu banyak dan mendengarkan terlalu sedikit (skillsyouneed.com, 2011). Dan klarifikasi dibutuhkan negosiator apabila terdapat poin-poin yang tidak dapat dimengerti lawan ataupun kesalahpahaman terhadap posisi. Masing-masing pihak dalam tahap pembahasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan aspirasi dan argumentasinya.
Selanjutnya beralih ketahap bargaining yang merupakan ‘jantung’ dari negosiasi itu sendiri. Negosiator dapat memulai dengan melakukan penawaran yang biasanya dapat dibagi dalam dua bentuk yakni exchange proposal atau exchange request (Scott, 1988). Sebuah bagian alami dari proses ini adalah pembuatan konsesi, yakni menyerahkan satu hal untuk mendapatkan sesuatu yang lain sebagai imbalan. Konsesi menunjukan sikap kerjasama untuk mencapai tujuan akhir negosiasi. Kunci keterampilan dalam fase ini adalah ask question, dimana negosiator harus berani bertanya akan segala opsi yang ada untuk mempertahankan posisi dan mencapai keuntungan maksimal. Yang terjadi dalam proses ini akan bergantung pada strategi yang digunakan negosiator, apakah distributive atau integrative.
Dalam melakukan bargaining, penting untuk bersikap tegas dan jelas guna mempertahankan kredibilitas tawaran yang tetap bersifat realistis. Artinya, negosiator tidak perlu merendah jika dalam posisi menjual, tinggi jika membeli atau sebaliknya (Scott, 1988).  Apabila proses ini dilakukan secara efektif, masing-masing pihak akan  cenderung menemukan resolusi yang berbeda dan lebih menarik dari ide yang dibawa salah satu pihak karena akan menciptakan situasi kolaborasi (win-win). Lebih jelasnya, bargaining yang baik akan menghasilkan semua pihak merasa telah memperoleh nilai yang diinginkan sehingga dapat menemukan landasan bersama tentang nilai yang saling menguntungkan dari pertukaran ide tersebut (Shell, 1999).
Setelah proses bargaining berakhir, tahapan selanjutnya adalah closure dimana menghasilkan output yang bergantung pada keberhasilan negosiator dalam tahapan sebelumnya. Hasil dari perundingan ini bervariasi, yakni apabila terjadi kesepakatan maka output dapat bersifat kolaborasi, dominasi, akomodasi atau kompromi. Sedangkan apabila tidak terjadi kesepakatan umumnya bersifat lose-lose. Yang pertama, kolaborasi adalah hasil negosiasi yang mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsesus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Dalam halnya, kolaborasi disebut juga konstruktif atau negosiasi berbasis minat yang bertujuan untuk menciptakan hubungan selaras sebagai elemen penting dalam mencari kesepaktan yang adil dan wajar.
Hasil ini berfokus pada pada apa yang disebut sebagai ‘win-win solution’ dimana kedua belah pihak merasa telah mendapatkan sesautu yang positif melalui proses negosiasi dan kedua belah pihak merasa sudut pandang mereka telah dipertimbangkan. Hasil ini biasanya merupakan hasil terbaik, meskipun tidak selalu terjadi dalam tahap perundingan (skillsyouneed.com, 2011). Yang kedua adalah dominasi, dimana hasil ini juga disebut sebagai win-lose. Dalam negosiasi ini kesepakatan yang terjadi akan menguntungkan hanya bagi salah satu pihak saja, sedangkan pihak lain kalah atau bahkan mendapatkan kerugian dari proses negosiasi tersebut. Dengan demikian, win-lose merupakan hasil yang cenderung diterima secara sukarela. Ketiga terdapat output akomodasi, dimana hal ini berarti dalam situasi dimana masing-masing pihak tetap mendapatkan bagian dari apa yang diingankan dalam tahap perundingan, namun salah satu pihak hasilnya tidak sebanyak atau sesuai dengan apa yang telah disekpektasikan sebelumnya (skillsyouneed.com, 2011).
     Keempat, kompromi adalah hasil negosiasi dimana kedua belah pihak memberikan sesuatu yang mereka inginkan untuk mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari apa yang mereka inginkan sekarang. Kompromi biasanya terjadi dalam tahap perundingan yang mengarah pada situasi ‘win-lose’. Dalam situasi kompromi, tidak ada pihak mendapatkan semua yang mereka inginkan, tetapi mereka masing-masing mencipatkan konsesi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh keduanya. Singkatnya prinsip dari output ini adalah you win some, you lose some (Spangler, 2003). Terakhir adalah lose-lose (menghindari konflik) yang menjelaskan hasil dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau juga bisa dikatakan kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik tersebut.
2.2.      PERJANJIAN DAN PERSETUJUAN DIPLOMASI
2.2.1.   Perjanjian Internasional
            Jika kita berbicara tenatang perjanjian , itu erat kaitannya dengan kerjasama antar suatu pihak kepihak lain. Seperti perjanjian antar Negara yang sering disebut perjanjian internasional. Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujun Negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama[1]. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disampaikan oleh komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu konfrensi internasional di wina untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan tersebut. Konfrensi tersebut kemudian menghasilkan Vienna convention on the law of treaties yang berlaku sejak 1980 dan telah menjadi hukum internasional positif.
            Pembuatan perjanjian biasanya mengikuti suatu prosedur yang kompleks dan kadang memakan waktu yang cukup lama. Pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap, yakni perundingan, penandatanganan, dan pengesahan. Ada perjanjian yang dapat segera berlaku hanya melalui dua tahap yaitu tahap perundinga dan penandatanganan dan ada pula perjanjian yang biasanya penting sifatnya berlaku harus melalui tiga tahap perundingan. Perjanjian bilateral, biasanya mulai berlaku setelah pertukaran piagam pegesahan atau setelah pemberitahuan masing-masing pihak bahwa prosedur konstitusional untuk pengesahan telah dipenuhi. Sedangkan untuk perjanjian multirateral, mulai berlakunya suatu perjanjian bagi suatu Negara ialah setelah penyimpanan piagam ratifikasi pada pemerintah Negara penyimpan atau sekertaris jendral organisasi internasional yang menyelenggarakan konfrensi.
2.2.1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Perjanjian Internasional
            Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana dicantum pada pasal 38 statuta Mahkamah Internasional. Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional di definisikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar Negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.
Dua unsur pokok yang terdapat dalam definisi perjanjian internasional
1.      Adanya subjek hukum internasional
2.      Rezim hukum internasional

2.2.1.2 Nama dan Istilah dalam Perjanjian Internasional
·         Treaties (perjanjian internasional/traktat)
Di indonesia Treaties lebih dikenal dengan Traktat , Secara umum treaties adalah perjanjian internasional, secara khusus Treaties mencakup seluruh perangkat yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat. Traktat diguanakan digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk traktat diantaranya adalah masalah perdamaian,perbatasan Negara, delimitasi, ekstradisi, persahabatan.
Contoh : Perjanjian persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara , 24 febuari 1976 (Treaty of amity and corporation in southeast Asia).


·         Convention (Konvensi)
Convention sama halnya seperti traktat merupakan perjanjian internsional Cuma konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak Negara pihak. Konvensi umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat iternasional untuk berpartisipasi secara luas, serta konvensi biasanya bersifat law-making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.
Contoh : Konvesi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang.
·         Agreement
Secara umum agreement / persetujuan dapat diartikan sebagai seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. Persetujuan ini biasanya mengatur materi kerjasama dibidang ekonomi, kebudayaan, tenik dan ilmu pengetahuan.
·         Charter (Piagam)
Charter biasanya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional. Charter ini di ambil dari istilah magna Charter pada tahun 1215. Contoh : Piagam PBB 1945.
·         Protocol (Protokol)
Bentuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibandingkan convention and treaty. Yaitu :

-                               Protocol Of Sigature
Merupakan perangkat tambahan yang digunakan oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian yang berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian.
-          Optional Protocol
Berisikan Hak dan Kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tersebut umumnya memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induk.  Contoh : Protokol tambahan Konvenan Internasional mengenai Hak-hak sipil dn politik, 1966.
-          Protocol Based On a Framework Treaty
Merupakan prangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. Protocol tersebut umumnya digunakan untuk menjamin proses pembuatan perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan khususnya dalam hukum lingkungan. Contoh : Motreal Protocol onSubstances that Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh pasal 2 dan 8 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer, 1985.
-            Protokol untuk merubah beberapa perjanjian internasional, seperti Protocol of 1946 amending the Agreements, Conventions and Protocols on Narcotic Drugs.
-            Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya, seperti Protocol of 1967 relating to the status of refugees yang merupakan pelengkap dari convention of 1951 relating to the status of Refugees.
·         Declaration (Deklarasi)
Deklarasi berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya dengan konvensi ialah, isi deklarasi lebih ringkas dan padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti kuasa usaha, ratifikasi dan lain-lain. Contohnya : Declaration of Asean Concord1976.
·         Final Act
Merupakan suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfrensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konfensi tersebut dengan kadang – kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu.
Contoh : Final Act General Agreement o tariff anf trade (GATT), 1994.


·         Agreed Minutes dan Summary records
Merupakan catatan hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya digunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.
·         Memorandum of understanding
Merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur  bersifat teknis, memorandum saling pengertian dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini biasanya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.
·         Exchange of Noes
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang ditandatanganin oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Pertukaran ini sering digunakan untuk penjelasan pasal-pasal tertentu dari suatu persetujuan atau perpanjangan suatu persetujuan. Di Indonesia , pertukaran nota mengatur soal pelaksanaan persetujuan induk, pemberian hibah, penyediaan alat-alat teknik, peningkata studi diberbagai bidang, kegiatan survey dll.

·         Process-Verbal
Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat teknik administrative atau perubahan-perubahan dalam suatu persetujuan.
·         Modus Vivendi
Merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dilakukan dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.
2.2.2    Persetujuan
Dengan adanya pembentukan dari sebuah perundingan ini kemudian dilanjutkan dengan adanya pembuatan dalam hal penutup dan kesepakatan. Penutup dan kesepakatan, yaitu mencari kesepakatan yang akan berujung pada sebuah penentuan dan hasil yang seoakat dan dapat diterima hasilnya, yaitu win-win. Tahapan ini sebenarnya dapat terlihat bahwa regulasi dan situasi dapat berubah karena dari sebelumnya terjadi negosiasi dan setelah terjadinya proses negosiasi situasi dari “kami” dan “mereka” berubah menjadi “kita”.
Pada tahapan negosiasi yang berhubungan dengan tahapan perundingan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hal ini berpengaruh karena dalam proses perundingan peran dari negosiator ini terlihat penting dalam pencapaian kesepakatan yang ingin dicapai. Peran ini harus memberikan sikap yang memang terlihat adanya keinginan dalam pencapaian kesepakatan bersama untuk mencapai kepentingan yang ingin diraih. Selain itu, juga tidak menjadi hal yang tidak mungkin juga dalam negosiasi ini tahapan-tahapan negosiasi memang harus ditekankan dalam urusan pencapaian kepentingan-kepentingan tersebut.
Kesepakatan merupakan babak akhir proses negosiasi, dan para pihak tidak akan pernah bisa mencapainya jika sejak awal tidak memiliki niat baik. Ketika tercapai kesepakatan biasanya kedua belah pihak melakukan jabat tangan sebagai tanda bahwa kesepakatan (deal of agreement) telah dicapai dan kedua belah pihak memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Yang perlu anda ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Sebenarnya soal niat baik ini sulit diukur, tapi karena menangguk untung sebesar-besarnya merupakan sifat dasar manusia, maka ketiadaan niat baik berpotensi menjebloskan para pihak kedalam sikap mau menang sendiri. Sifat mau menang sendiri ini dapat menutup mata pihak yang satu dalam memahami kepentingan pihak yang lain, demikian sebaliknya.

2.3.      BENTUK-BENTUK DIPLOMASI
Berlangsung dalam kelompok kecil atau kelompok sedang dengan julah peserta yang terbatas serta waktu dan tempat yang telah ditentukan. Bentuk-bentuk diplomasi antara lain sebagai berikut:
1.      Dialog.
2.      Persidangan
3.      Konferensi Internasional
4.      Kunjungan kenegaraan.
5.      Seminar Internasional.
6.      Simposium.
7.      Negoisasi
8.      Lobby
Selain dalam bentuk komunikasi kelompok, diplomasi juga bisa berlangsung dalam bentuk komunikasi bermedia, baik media surat maupun media massa, antara lain sebagai berikut:
1.      Penerangan masyarakat
2.      Hubungan masyarakat internasional
3.      Hubungan media atau hubungan pers internasional
4.      Korespondensi diplomatic antarlembaga diplomatic (shoelhi, mohammad. 2011:84-85).
2.4       FUNGSI DIPLOMASI
Secara umum:
1.      Reporting, melaporkan perkembangan berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb yang terjadi di negara akreditasi dan mengkomunikasikan informasi penting lain yang perlu diketahui negara akreditasi.
2.      Respresentation, diplomat yang secara resmi mewakili negaranya dan memeragakan keresmiannya dihadapan sesame utusan diplomatikdi negara akreditasi.
3.      Negotiation, dalam perundingan diplomat bertugas sebagai pembawa pesan, senantiasa bertindak sesuai intruksi yang diberikan oleh negaranya.
Fungsi diplomasi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh mencakup:
1.      Negosiasi/perundingan, duta besar bertugas merundingkan segala sesuatu yang dikehendaki pemerintah negaranya dan pemerintah negara akreditasi.
2.      Observasi, mengamati segala yang terjadi dinegara tempat bertugas dan kemudian melaporkan ke pemerintah negaranya . duta besar harus memiliki ketelitian dan kemampuan berpikir kritis analitis sehingga laporan yang disampaikan berisi pendangan-pandangan disertai pertimbangan yang layak dengan segi-segi yang perlu diperhatikan, segi yang menguntungkan, maupun yang merugikan.
3.      Perlindungan/ protection, duta besar berkewajiban melindungi warga negara serta hak milik mereka.
4.      Konsuler, melindungi kepentingan negara serta memajukan perdagangan dan perekonomian pada umumnya , serta kepentingan sosial, budaya, daunt ilmu pengetahuan.
Menurut pasal 3 ayat 1 konvensi wina mewnfenai hubngangan diplomati, sbb:
1.    Mewakili negara pengirim di negara penerima (reprenseting the sending state in the receiving state).
2.    Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya didalam wilayah negara diakreditasi dalam batas-batas ketentuan hokum internasional (protecting).
3.    Melakukan perundingan untuk dan atas nama rakyat serta negaranya dengan negara akreditasi (negotiating).
4.    Berupaya mendapatkan informasi dengan cara yang sah mengenai keadaan serta pembangunan negara penerima akreditasi, dan kemudian melaporkannya ke negara pengirim, serta menyampaikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan negara menerima sesuai ketentuan hukum yang berlaku (observing and reporting).
5.    Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta memajukan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan (shoelhi, mohammad. 2011:85-88).






2.5       TEKNIK DIPLOMASI
Komunikasi diplomatik, khususnya negoisasi, biasanya dilakukan dengan serangkaian persiapan untuk menentukan berbagai hal yang meliputi:








Setelah semua disepakati, disusul dengan sebagai berikut:
Kelancaran jalannya negoisasi lebih ditentukan oleh upaya-upaya setiap pribadi diplomat yang akan maju ke meja perundingan. Upaya-upaya tersebut antara lain:
1.      Menciptakan kepercayaan bersama, menunjukan sikap saling menghormati dan menghindarkan keterlibatan emosi.
2.      Berupaya mencari kejelasan masalah, tidak boleh melancarkan interogasi, mengajukan pertanyaan tertutup yang menimbulkan jawaban ya atau tidak. Pertanyaan yang diperbolehkan adalah pertanyaan terbuka seperti mengapa dan bagaimana.
3.      Menciptakan saling pengertian, harus membedakan persepsi dari permasalahannya. Semua masalah subtantif secara objektif harus dijabarkan dan dimengerti dengan baik, persepsi yang negatif dan sikap masing-masing pihak harus dikemukakan dan didengar.
4.      Para pihak harus menyusun dan menyepakati prioritas urutan masalah dan memahami tingkat krusialitasnya.
5.      Berupaya untuk melaksanakan penyelesaian masalah (shoelhi, mohammad. 2011:143-144).
2.6       STATEGI DIPLOMASI
            Dalam dunia diplomasi, setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Sangat jarang ditemukan adanya negara yang bersedia mengorbakan kepentingan nasionalnya untuk kepentingan negara lain (kepentingan yang lebih besar) yaitu kepentingan internasional. Situasi tersebut menciptakan setiap negara berlomba untuk dapat sebanyak mungkin menguasai informasi, khususnya informasi negara lawan agar bisa memenangkan sebuah diplomasi.
Menurut Onong Uchjana Effendy ( 1986:35) dalam  Shoelhi, Mohammad (2011), strategi komunikasi baik secara makro ataupun mikro mempunyai fungsi ganda, yaitu :
1.      Menyampaikan pesan komunikasi yang bersifat informative, persuasif, dan instruktif secara sistematis.
2.      Menjembatani kesenjangan budaya.
Strategi komunikasi, tidak terkecuali strategi diplomasi perlu disusun dengan tahapam pendekatan sebagai berikut:
1.      Designing, penyusunan rancangan format diplomasi. Factor yang perlu dilibatkan untuk dikendalikan meliputi aspek timing, placing, priming, dan organizing. Kemudian factor yang sulit dikendalikan adalah factor sasaran dan setting.
2.      Preconditioning, rancangan format diplomasi disimulasikan dalam berbagai model untuk memperkirakan kemungkinan feedback yang akan diterima.
3.      Conditioning, upaya menguji sejauh mana sasaran komunikasi akan menanggapi pesan yang hendak dilontarkan dan aspek-aspek pesan apa saja yang perlu diperhatikan.
4.      Exercising, diplomasi yang sesungguhnya dilancarkan ditengah medan. Seluruh analisis (komunikator, pesan, dan feedback) harus bekerja secara semestinya. Tetapi apabila diplomasi hendak dilakukan secara single strike , seluruh kapasitas diplomasi harus dikerahkan.
5.      Evaluating, hasil-hasil diplomasi dievaluasi. Berjalan sesuai scenario atau tidak, berhasil atau tidak, dan sebagainya.
6.      Reapproaching or concluding, hasil evaluasidijadikan pembelajaran untuk penentuan langkah selanjutnya. Bila diplomasi gagal sebagian, perlu pertimbangan apakah perlu diplomasi susulan. Bila gagal total, apakah perlu format diplomasi baru dengan scenario baru?, namun bila diplomasi berhasilmaka diplomasi berhenti sampai disitu.











BAB III
PENUTUP

3.1.            Kesimpulan
Secara umum, diplomasi merupakan sebuah seni bernegosiasi yang dilakukan oleh perwakilan Negara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh Negara pengirim. Berdasarkan ruang lingkupnya, diplomasi diciptakan untuk dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses. Diplomasi identik dengan urusan politik luar negeri suatu negara dengan menggunakan berbagai macam pilihan cara berdiplomasi seperti melalui kerjasama, penyesuaian serta pertentangan. Pertentangan dengan cara menunjukan kekuatan atau perang merupakan pilihan terakhir dari proses diplomasi apabila negosiasi yang dilakukan tidak berhasil. Oleh karena itu perlu adanya tahapan persiapan dalam perundingan yang akan dilakukan dalam diplomasi. Lalu juga perlu adanya teknik diplomasi agar negosiasi dan perundingan yang dilakukan dapat berjalan lancer dan sesuai dengan rencana. Kemudian membuat strategi diplomasi yang bertujuan untuk kepentingan nasional. Sangat jarang Negara yang rela mengorbankan kepentingan nasionalnya demi Negara lain. Situasi tersebut menciptakan setiap negara berlomba untuk dapat sebanyak mungkin menguasai informasi, khususnya informasi negara lawan agar bisa memenangkan sebuah diplomasi
DAFTAR PUSTAKA

A.        Buku
Boer, Maura. (2011). Hukum Internasional. Bandung: P.T Alumni.
Heron, Robert dan Caroline Vandenabeele. (1998). Negosiasi Efektif: Sebuah Panduan Praktis (terj. Rulita Wijayaningdyah, Effective Negotiation: A Practical Guide). Indonesia: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES).
Noor, Amirudin. (2014). Komunikasi Negoisasi Diplomasi. Jakarta: PT. Upakara Sentosa Sejahtera.
Salamah, Lilik. (2014). Tahap Perundingan dalam Negosiasi. materi disampaikan pada kuliah Negosiasi Diplomasi, Departemen Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.
Shoelhi, Mohammad. (2011). Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Spangler, Brad. (2003). Compromise. Diakses.
Susilo, I. Basis. (2014). Tahap Perundingan dalam Negosiasi. materi disampaikan pada kuliah Negosiasi Diplomasi, Departemen Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.

B.        Sumber lain
Skillsyourneed.com. 2011. What is negotiation. Diakses





 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar