Kamis, 06 Oktober 2016

Diplomasi dan Hukum Internasional - Rico Dwi Cahyo ramadhan (2014230034)



Diplomasi dan Hukum Internasional



Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan perlu  membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip- prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan  baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa  pengaruh sangat besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai landasan hukum pelaksanaannya. Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut maka tiap negara haruslah menjadi pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara, kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang  bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau sebagaian.
Dalam konvensi tersebut ada beberapa konsep dasar yang mengatur hubungan diplomatik, diantaranya: Diplomatic Immunity , yaitu aturan dasar hukum internasional yang mengizinkan seorangdiplomat untuk terlibat dalam diplomasi inmternasional tanpa ada perasaan takut dan adanyacampur tangan dari pihak luar.
Immunity ( kekebalan diplomatik ) adalah suatu perlindungan terhadap diplomat dari pelaksanaan hukum normal dan gugatan yang meliputi duta besar dan staff, atase dan keluarganya. Kekebalan diplomatik masih dimiliki oleh korps diplomatik,walaupun telah terjadi perang antara dua negara dan meninggalnya seseorang pejabat korps diplomatik. Walaupun demikian tidak berarti bahwa staff diplomatik tidak dapat terjerat hukum (Impunity). Diplomat profesional tetap memiliki kode etik yang mengharuskan mereka menghargai hukum lokal.“ The Best Guarantee of the Diplomat‟s Immunity is the correctnessof his own good conduct “.
 Misconduct (Tindakan yang tidak baik) adalah Speeding, Trafficaccidents dan Parking in front of fire Hydrants. Persona Non Grata adalah tindakan untuk tidak menerima perwakilan (diplomat) negara  pengirim atau meminta menarik kembali wakilnya oleh negara penerima ( Host State)karenaalasan tertentu, dan umumnya tidak perlu memberikan penjelasan. Walaupun demikian padaumumnya, upaya persona non grata disebabkan oleh adanya tindakan kejahatan (misconduct ), menjadi mata-mata ( Espionage) dan tindakan balasan ( Retaliation ). Extrateritoriality adalah status yang dimiliki oleh korps diplomatik atas tidak terkenanyahukum negara penerima di dalam kedutaanya, walaupun hukum antar negara tersebut tidak sama
Asylum adalah perlindungan dari penahanan atau ekstradisi yang diberikan oleh pihak kedutaan kepada  pengungsi politik lokal. Namun demikian mahkamah pengadilan internasional tidak secara umum mengakui hak asylum bagi kedutaan, tapi Asylum tersebut berlaku hanya untuk alasan-alasan kemanusiaan ketika pengungsi tersebut terancam oleh kejahatan massa.
Protocol Adalah aturan dan prosedur standar dalam diplomasi. Protokol lebih merupakan suatu kebiasaan internasional daripada hukum internasional formal. Selama abad 17 dan 18, para diplomat menghabiskan waktu untuk menentukan aturan protokol yang bersangkut paut dengan masalah status dan prestise.
Menurut Mohammed Soelhi dalam buku Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional, dalam menjalankan tugas-tugas diplomatik, seorang diplomat dilindungi aturan hukum, baik hukum trtulis maupun hukum tidak tertulis, dan ketentuan protokoler yang berlaku universal di negara akreditasi. Dalam menjalin hubungan internasional, setiap negara harus mematuhi prinsip non intervensi dan prinsip saling menghormati satu sama lain. Diplomasi harus dilakukan sesuai batas-batas kepatutan etika internasional.
Seoarang diplomat terikat oleh aturan protokoler yang mengatur cara bertindak sejauh kepatuhan tata karma dan sopan santun menurut etika internasional. Nilai-nilai tersebut telah diteteapkan dalam konvensi atau protokol Wina. Pelanggaran atau pengabaian terhadap dan/atau etika internasional yang berlaku dapat menyebabkan sang diplomat dipersona-non-gratakan ditolak/diusir dari negara akreditasi tempat ia bertugas. Hubungan kurang bersahabat angtara satu negara dengan negara lain, pada titik yang paling kritis, dapat menyebabkan pemutusan hubungan diplomatik.
Tekait dengan tugas diplomatik seorang diplomat, Konvensi Wina 1961 telah menentukan hak dan kewajiban bagi seorang diplomat. Di antaranya bahwa seorang diplomat mempunyai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik. Artinya, ia kenbal terhadap hukum dari negara ia ditugaskan. Ia juga tidak memberi kesaksian di pengadilan. Fasilitas dan kekebalan diplomatik ini memberikan kebebesan kepada diplomat dalam menjalankan tugasnya, dan berlaku selama tindakan itu dilakukan dalam pelaksanaan tugasnya. Namun, ia tidak boleh menyalahkan kekebalan diplomatik dan hak-hak istimewannya untuk kegiatan spionase dan/atau keuntungan pribadi.
Jika dilihat dari dua buku tersebut, mereka berpendapat bahwa hukum diplomatik selalu  mengacu pada Konvensi Wina pada tahun 1961 yang berisi tentang keistimewaan dan kekebalan hukum seorang diplomat serta staff nya dalam menjalani tugas di negara penerima atau negara tempat ia bekerja. Mereka juga menyebutkan beberapa sanksi apabila salah satu bentuk kekebalan yang dimiliki diplomat terganggu atau terlalaikan, begitupun sebaliknya, apabila seoramg diplomat menyalahgunakan kekebalannya tersebut, maka ada beberapa ketentuan yang harus diterima diplomat tersebut. meskipun diplomat memiliki keistimewaan dan kekebalan, diplomat professional harus mempunyai kode etik dan menghormati hukum setempat.
Referensi:
Soelhi, Mohammad. (2011) “Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional”, Bandung: Simbiosa Rekatama
Suryokusumo, Sumaryo. (1995) “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Bandung: Alumni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar