Diplomasi dan Hukum Internasional
Dalam hubungannya satu sama lain
antara diplomasi dan hukum internasional, negara-negara mengirim
utusan-utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan
dan mengamankan kepentingannya masing-masing di samping mengupayakan
terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam
pendekatan dan berunding dengan negara lain untuk mengembangkan hubungan
tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh para diplomat. Praktek
perwakilan tetap oleh diplomat baru berkembang di negara-negara Eropa pada
pertengahan abad ke XVII setelah Treaty
of Westphalia pada tahun 1648.
Sampai dengan tahun 1815
ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari
hukum kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam
konferensi sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi
hukum tertulis. Kemudian pada tahun 1927dalam kerangka Liga Bangsa Bangsa
diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai
Komisi Ahli ditolah oleh Dewan Liga Bangsa Bangsa tersebut. Selanjutnya tahun 1954, komisi mulai membahas
masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik dan sebelum akhir 1959. Majelis Umum memutuskan untuk mengadakan
konferensi internasional dengan nama the United Nations Conference on
Diplomatic Intercourse and Immunities, berlokasi di Wina tanggal 2 Maret- 14
April 1961. Konferensi tersebut mengahasilkan tiga instrumen:
(1) Vienna
Convention on Diplomatic Relations
(2) Optional
Protocol Concerning Aqcuisition of Nasionality
(3) Optional
Protocol Corcerning The Compulsory Settlement of Dispute. Sampai saat ini
Konvensi Wina telah menjadi konvensi universal karena hampir semua negara
di dunia telah menjadi pihak konvensi tersebut. (Hukum Internasional,2011)
Setelah kita mengetahui tentang sejarah hukum diplomatik. selanjutnya
kita akan mengetahui bagaimana dengan pengertian hukum diplomatik sendiri,
sebelum kita membahas lebih dalam lagi tentang hukum diplomatik. Mengenai
pengertian hukum diplomatik hingga saat ini belum terdapat keseragaman pendapat
di antara para ahli hukum internasional. Menurut Jan Osmanczyk, hukum
diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaaan internasional yang terdiri dari
seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan
fungsi para diplomat, termasuk bentuk oraganisasional dari lintas diplomatik.
Ada pula beberapa penggunaan istilah “diplomasi”: 1) ada yang menyamakan kata
‘diplomasi’ dengan ‘politik luar negeri’; 2) diplomasi dapat pula diartikan
sebagai perundingan, seperti sering dinyatakan Masalah Timur Tengah hanya dapat
diselesaikan melalui jalur diplomasi; 3) adapula Diplomasi Perjuangan, istilah
ini dicetuskan dan merupakan isi pokok pidato Presiden Soeharto dalam rapat
kerja Kepala-Kepala Perwakilan Republik Indonesia pada Maret 1977; 4) diplomasi
multitrack, istilah ini menjadi popular di kalangan para diplomat kita seiring
dengan munculnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai hubungan luar
negeri dan otonomi daerah.
Dengan
demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau
prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar
negara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal
balik, dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam
instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi
sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan
kemajuan hukum internasional secara progresif.
a. Pembukaan
Hubungan Diplomatik
Sebelumnya secara umum diakui
bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai right of legation. Hak legasi ini diterima oleh Konvensi Havana
1928 seperti yang tercantum dalam Pasal 1-nya. Hak legasi ini secara berangsur
sudah ditinggalkan, oleh karena itu Hukum Internasional tidak mengharuskan
suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak
ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara. Demikian
juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima
wakil-wakilnya.
Namun seperti ditegaskan oleh
Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961: Pembukaan
hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap
diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini
biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian
persahabatan dan lain-lain. Kesepakatan bersama dalam Pasal 2 ini, harus ada
kesepakatan untuk membuka hubungan diplomatik dan selanjutnya kesepakatan untuk
membuka perwakilan tetap. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan
perwakilan tetap bagi Konvensi Wina merupakan dua hal yang berbeda. Suatu
negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak langsung diikuti pembukaan
perwakilan tetap.
b. Klasifikasi
Pejabat Diplomatik
Bila dua negara telah mencapai
kesepakatan untuk membuka perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan
selanjutnya ialah tingkat perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan
selanjutnya ialah tingkat perwakilan yang dibuka di masing-masing negara.
Sesuai praktik yang berlaku biasanya kepala perwakilan yang dipertukarkan
adalah pada tingkat yang sama. Dewasa ini pertukaran kepala perwakilan pada
tingkat duta besar merupakan praktik yang biasa berlaku. Sebelumnya,
klasifikasi para pejabat diplomatik menurut Konferensi Wina tahun 1815 dibagi
atas tiga kelas yaitu:
- Para duta besar, duta Paus atau nuncio.
- Para utusan, menteri atau yang lain dan yang diakreditasikan kepada raja.
- Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada menteri urusan luar negeri
Selanjutnya, tanpa banyak
perubahan, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 menetapkan tingkat-tingkat kepala
perwakilan sebagai berikut:
- Para duta besar atau nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara dan para kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya.
- Para utusan, duta dan internuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara.
- Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada menteri luar negeri.
Sampai Perang Dunia II, sebagian
besar perwakilan diplomatik dipimpin oleh envoys
extraordinary atau ministers
seperti yang terdapat dalam klasifikasi pejabat diplomatik Konvensi Wina 1815
dan bukan oleh duta besar yang merupakan kategori pertama kepala perwakilan.
Walaupun tidak terdapat dalam Konvensi Wina, praktik diplomasi sehari-hari
telah mengembangkan klasifikasi pejabat diplomatik yang dikenal dengna
gelar/kepangkatan dengan urutan sebagai berikut:
- Duta Besar
- Minister
- Minister Counsellor
- Counsellor
- Sekretaris Pertama
- Sekretaris Kedua
- Sekretaris Ketiga
- Atase
- Penunjukan Kepala Perwakilan dan Staff Perwakilan
Pengangkatan seorang duta besar
biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan
oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya.
Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama bergantung pada sistem dan praktik
yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh
kabinet atau hanya oleh kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan
berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus
mendapat persetujuan dari Senat. Sedangkan untuk pengangkatan staf perwakilan,
sesuai Pasal 7 Konvensi negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat
anggota-anggota staf perwakilan. Pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip
umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan
persetujuan negara penerima.
Mengenai atase-atase pertahanan,
permintaan persetujuan kepada negara penerima tidak mutlak. Istilah yang
dipakai adalah may require dan
terserah bagi praktik negara penerima. Kalau negara penerima menganggap perlu
agar nama-nama atase militer diberikan terlebih dahulu untuk mendapatkan
persetujuan, negara tersebut dapat melakukannya. Kalau tidak, suatu negara
dapat mengirimkan atase-atase militer tanpa minta persetujuan negara setempat.
Inggris menolak praktik meminta persetujuan ini sedangkan Mesir misalnya,
meminta dulu nama atase pertahanan atau atase militer untuk mendapatkan
persetujuannya.(Hukum Internasional, 2011)
- Penugasan Misi Diplomatik
Suatu misi diplomatik bisa
berfungsi hanya apabila ia menerima kuasa izin dari negara penerima. Negara
penerima juga mempunyai hak untuk menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur
kedudukan hukum dan kegiatan-kegiatan diplomat asing. Penunjuk pejabat diplomatik
merupakan tindakan konstitusional suatu negara. Ia bisa menunjuk setiap orang
untuk jabatan diplomatik di negara lain. Sebaliknya, pejabat yang ditunjuk
harus memperoleh kepercayaan dari negara penerima. Negara penerima boleh
memutuskan tentang ketidakcocokan seorang pejabat diplomatik, dengan alasan
apapun dan menolak menerimanya.
Menurut Earnest Satow, seorang
utusan diplomatik hanya ditunjuk sesudah ada persetujuan penguasa negara
penerima yang diketahui kepastiannya. Sesudah ditunjuk seorang diplomat diberi
surat kepercayaan (letter of credence),
surat ini memberikan wewenang kepada pejabat itu untuk menjalankan tugasnya.
Surat kepercayaan ini diberikan oleh kepala negara untuk duta besar dan menteri
dan oleh menteri luar negeri untuk kuasa usaha.
Pada saat menunjuk suatu misi
diplomatik suatu pemerintah biasanya mengkaji apakah dengan kemampuan mental
dan politiknya seorang diplomat mampu membuat pengaruh yang politiknya seorang
diplomat mampu membuat pengaruh yang menguntungkan kepada lingkaran pemerintah
negara penerima atau tidak.(Diplomasi, 1995)
- Penghentian Tugas Diplomatik
Penghentian tugas diplomatik yang
tidak permanen terjadi secara otomatis dengan habisnya jangka waktu
penunjukannya, seperti misalnya penugasan ke suatu kongres atau konperensi.
Apabila kongres atau konperensi itu berakhir atau apabila seorang diplomat
ditunjuk ad interim, dengan kembali
bertugasnya pemegang jabatan tetap. Suatu penarikan kembali (recall) yang resmi tidak perlu dalam hal
berikut ini: Apabila tujuan misi telah dicapai; atau telah diselesaikannya atau
gagalnya tugas yang dipercayakan kepada misi yang untuk tugas itu misi tersebut
secara khusus diciptakan. Penghentian atau penghapusan misi diplomatik permanen
bisa terjadi karena sebab-sebab yang dibicarakan di bawah ini.
Apabila salah satu dari kedua
pihak, dikarenakan alasan apapun, berhenti untuk mewakilkan negaranya. Oleh
karena itu, dalam negara-negara kerajaan bilamana suatu perubahan dalam
kerajaan terjadi dikarenakan matinya penguasa, pihak yang satu atau yang lain
harus menunjuk lagi duta besar dan diplomat lain.
Sebuah misi diplomatik bisa
dihentikan dengan menarik kembali diplomatnya. Penarikan kembali itu bisa
terjadi dengan berbagai cara, ia mungkin ditarik oleh pemerintahannya sendiri
apabila dirasa bahwa hubungan antara diplomat tersebut dengan pemerintah negara
penerima tidak lagi meyenangkan; ia juga bisa dipanggil pulang karena
alasan-alasan murni dalam negeri seperti perubahan pemerintah atau apabila ia
dipindahkan negara penerima yang menganggapnya sebagai persona non grata karena dianggap menghina negara penerima itu,
atau karena hubungan antara negara pengirim dan penerima demikian memburuk
sehingga dituntut adanya penarikan kembali.
Duta besar dan pejabat diplomatik
lainnya biasanya dinyatakan persona non
grata hanya apabila kemanfaatannya dirusak dengan pernyataan-pernyataan
politiknya yang tidak bijaksana, campur tangan masalah dalam negeri negara tuan
rumah atau terlibat dalam kegiatan spionase di bawah kedok
statusnya.(Diplomasi, 1995)
- Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik
Para pejabat diplomatik dan
misi-misi diplomatik di suatu negara berada dalam suatu situasi yang khusus.
Misi diplomatik tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam melakukan
tugas-tugas resmi di negara penerima. Dasar pemberian semua kemudahan, hak-hak
istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para pejabat diplomatik asing di
suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan
lain. Adapun hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan kepada
diplomat sebagai berikut:
Kekebalan
pribadi, Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan “Pejabat diplomatik tidak boleh
diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Merka harus diperlakukan
dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang
layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan, dan martabatnya.
Kekebalan
yurisdiksional, diplomat bebas dari yurisdiksi negra penerima sehubungan dengan
masalah kriminal, namun pasal 32 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bila seorang
diplomat melakukan tindakan kriminal di negara pengirim atau kepala
perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatik. Bila
kekebalan itu ditanggalkan maka tidak ada halangan bagi peradilan negara
penerima untuk mengadilinya.
Pembebasan
Pajak, pejabat diplomat bebas dari pungutan pajak yang dilakukan oleh negara
penerima, pengecualian untuk pungutan-pungutan lokal seperti listik air,dll.
Harta benda tak bergerak milik pribadi di negara penerima tetap dikenai pajak.
Hak istimewa dan
kekebalan anggota keluarga pejabat diplomatik, Pasal 37 Konvensi Wina 1961
menegaskan bahwa anggota-anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik yang
merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan.
Hak dan kekebalan tersebut dibatasi kepada anggota keluarga yang berdiam dengan
pejabat diplomatik yang bersangkutan.
Hak istimewa dan kekebalan anggota perwakilan lainnya dan pembantu rumah tangga, untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga negara penerima juga mendapat hak istimewa dan kekebalan.
Hak istimewa dan kekebalan anggota perwakilan lainnya dan pembantu rumah tangga, untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga negara penerima juga mendapat hak istimewa dan kekebalan.
- Privilese dan Kekebalan Pejabat Organisasi Internasional
LBB melalui Pasal 7 (4) Piagamnya
menyatakan bahwa wakil-wakil negara-negara anggota dan pejabat Liga Bangsa
Bangsa memperoleh privilase dan kekebalan diplomatik. PBB juga melalui Pasal
105 (2) Piagamnya menganugerahi para wakil negara anggotanya “privilese dan
kekebalan yang penting bagi pelaksanaan fungsi mereka yang bebas dalam
kaitannya dengan Organisasi.” Majelis Umum pada tanggal 13 Januari 1946
mensahkan General Convention on the
Privileges and Immunities para wakil yang dikirim ke PBB.
Privilese tersebut meliputi
kekebalan dari penahanan atau penangkapan, penahanan barang-barang bawaan pribadi,
segala jenis proses hukum, jaminan atas semua surat-surat dan dokumen, dan
lain-lain. Privilese dan kekebalan ini diberikan bagi para wakil negara-negara
anggota bukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, melainkan agar mereka
bisa melaksanakan fungsi mereka tanpa hambatan apapun berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan mereka dengan PBB.(Diplomasi,1995)
- Pejabat Konsuler, Mulai dan Berakhirnya Jabatan Konsuler
Konsul biasanya tidak dianggap
sebagai bagian melekat dari Corps
Diplomatique. Mereka bukan wakil negara mereka, mereka tidak diangkat
sebagai wakil kepada suatu negara asing. Tetapi seorang Konsul, yang ditunjuk
oleh negaranya, diakui oleh negara penerima sebagai pejabat resmi dan diizinkan
melakukan fungsi-fungsi tertentu yang biasanya akan dipercayakan kepada pejabat
negara di mana konsul bertempat tinggal. Terkadang seorang konsul juga diangkat
sebagai charge d’affaires kepada
negara penerima dan dalam keadaan itu diperbolehkan menikmati hak-hak khusus
dan kekebalan diplomatik.
Kepala dinas konsuler diangkat
oleh negara pengirim dengan tugas atau maklumat yang disusun secara rinci
tentang golongan dan kelasnya, wilayah konsulernya, dan kedudukan konsultannya.
Vice-consul dan pejabat konsuler juga disertai dokumen sejenis, biasanya
dikenal sebagai brevet. Sesudah
penunjukkan misi konsuler negara penerima memberitahukan penerimaan resminya
dengan memberikan dokumen pengesahanny, dikenal sebagai exequatur.
Konsul Jenderal mempunyai
kekuasaan mengawasi sebuah wilayah konsuler yang luas atau beberapa wilayah
yang lebih kecil, tetapi tidak mesti atas seluruh wilayah dalam satu negara,
dan atas para pejabat konsuler di dalam wilayah mereka. Berakhirnya jabatan
konsuler bisa terjadi di bawah kondisi yang sama seperti pada misi diplomatik.
Apabila seorang pejabat konsuler menghina negara penerima dengan
tindakan-tindakannya, hal itu bisa mengakibatkan dicabutnya exequatur atas orang tersebut, atau
tidak dianggapnya orang tersebut sebagai anggota staf konsuler.
- Privilese dan Hak Imunitas yang Dipunyai oleh Pejabat Konsuler
Seorang pejabat konsuler
mempunyai hak kekebalan dan tak boleh ditahan atau dipenjara sambil menunggu
pengadilan, kecuali apabila sebuah kekuasaan yudikatif yang berkompeten sampai
pada kesimpulan akan keterlibatannya dalam perkara kriminal besar. Negara
memberikan privilese ini hanya kepada kepala pos konsuler, sedangkan
negara-negara lain kepada semua pejabat konsuler, dan beberapa yang lain lagi
memperluasnya kepada golongan tertentu pekerja konsulat juga. Meskipun
demikian, anggota konsulat memperoleh kekebalan terhadap yurisdiksi
adminstratif dan penguasa hukum negara penerima dalam segala hal berkenaan
dengan tindakan yang dilakukan dalam menjalankan fungsi konsuler. (Diplomasi,
1995)
Daftar
Pustaka
Roy, S.L. 1995.
Diplomasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: Press.
Mauna, Boer. Hukum Internasional:
Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni. Jakarta
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar