Kamis, 06 Oktober 2016

Diplomasi dan Hukum Internasional - Maylisa Putri (2014230002)



   Diplomasi dan Hukum Internasional



Dalam hubungannya satu sama lain antara diplomasi dan hukum internasional, negara-negara mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing di samping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam pendekatan dan berunding dengan negara lain untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh para diplomat. Praktek perwakilan tetap oleh diplomat baru berkembang di negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke XVII setelah Treaty of Westphalia pada tahun 1648.
Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Kemudian pada tahun 1927dalam kerangka Liga Bangsa Bangsa diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai Komisi Ahli ditolah oleh Dewan Liga Bangsa Bangsa tersebut. Selanjutnya tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik dan sebelum akhir 1959.  Majelis Umum memutuskan untuk mengadakan konferensi internasional dengan nama the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities, berlokasi di Wina tanggal 2 Maret- 14 April 1961. Konferensi tersebut mengahasilkan tiga instrumen:
(1) Vienna Convention on Diplomatic Relations
(2) Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nasionality
(3) Optional Protocol Corcerning The Compulsory Settlement of Dispute. Sampai saat ini Konvensi Wina  telah menjadi konvensi universal karena hampir semua negara di dunia telah menjadi pihak konvensi tersebut. (Hukum Internasional,2011)
Setelah kita mengetahui tentang sejarah hukum diplomatik. selanjutnya kita akan mengetahui bagaimana dengan pengertian hukum diplomatik sendiri, sebelum kita membahas lebih dalam lagi tentang hukum diplomatik.  Mengenai pengertian hukum diplomatik hingga saat ini belum terdapat keseragaman pendapat di antara para ahli hukum internasional. Menurut Jan Osmanczyk, hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk oraganisasional dari lintas diplomatik. Ada pula beberapa penggunaan istilah “diplomasi”: 1) ada yang menyamakan kata ‘diplomasi’ dengan ‘politik luar negeri’; 2) diplomasi dapat pula diartikan sebagai perundingan, seperti sering dinyatakan Masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi; 3) adapula Diplomasi Perjuangan, istilah ini dicetuskan dan merupakan isi pokok pidato Presiden Soeharto dalam rapat kerja Kepala-Kepala Perwakilan Republik Indonesia pada Maret 1977; 4) diplomasi multitrack, istilah ini menjadi popular di kalangan para diplomat kita seiring dengan munculnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai hubungan luar negeri dan otonomi daerah.
 Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal balik, dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif. 
a.      Pembukaan Hubungan Diplomatik
Sebelumnya secara umum diakui bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai right of legation. Hak legasi ini diterima oleh Konvensi Havana 1928 seperti yang tercantum dalam Pasal 1-nya. Hak legasi ini secara berangsur sudah ditinggalkan, oleh karena itu Hukum Internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya.
Namun seperti ditegaskan oleh Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961: Pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian persahabatan dan lain-lain. Kesepakatan bersama dalam Pasal 2 ini, harus ada kesepakatan untuk membuka hubungan diplomatik dan selanjutnya kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap bagi Konvensi Wina merupakan dua hal yang berbeda. Suatu negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak langsung diikuti pembukaan perwakilan tetap.
b.      Klasifikasi Pejabat Diplomatik
Bila dua negara telah mencapai kesepakatan untuk membuka perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan selanjutnya ialah tingkat perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan selanjutnya ialah tingkat perwakilan yang dibuka di masing-masing negara. Sesuai praktik yang berlaku biasanya kepala perwakilan yang dipertukarkan adalah pada tingkat yang sama. Dewasa ini pertukaran kepala perwakilan pada tingkat duta besar merupakan praktik yang biasa berlaku. Sebelumnya, klasifikasi para pejabat diplomatik menurut Konferensi Wina tahun 1815 dibagi atas tiga kelas yaitu:

  1. Para duta besar, duta Paus atau nuncio.
  2. Para utusan, menteri atau yang lain dan yang diakreditasikan kepada raja.
  3. Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada menteri urusan luar negeri
Selanjutnya, tanpa banyak perubahan, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 menetapkan tingkat-tingkat kepala perwakilan sebagai berikut:
  1. Para duta besar atau nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara dan para kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya.
  2. Para utusan, duta dan internuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara.
  3. Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada menteri luar negeri.
Sampai Perang Dunia II, sebagian besar perwakilan diplomatik dipimpin oleh envoys extraordinary atau ministers seperti yang terdapat dalam klasifikasi pejabat diplomatik Konvensi Wina 1815 dan bukan oleh duta besar yang merupakan kategori pertama kepala perwakilan. Walaupun tidak terdapat dalam Konvensi Wina, praktik diplomasi sehari-hari telah mengembangkan klasifikasi pejabat diplomatik yang dikenal dengna gelar/kepangkatan dengan urutan sebagai berikut:
  1. Duta Besar
  2. Minister
  3. Minister Counsellor
  4. Counsellor
  5. Sekretaris Pertama
  6. Sekretaris Kedua
  7. Sekretaris Ketiga
  8. Atase


  1. Penunjukan Kepala Perwakilan dan Staff Perwakilan
Pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh menteri luar negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama bergantung pada sistem dan praktik yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau hanya oleh kementerian luar negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang duta besar harus mendapat persetujuan dari Senat. Sedangkan untuk pengangkatan staf perwakilan, sesuai Pasal 7 Konvensi negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Pasal ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima.
Mengenai atase-atase pertahanan, permintaan persetujuan kepada negara penerima tidak mutlak. Istilah yang dipakai adalah may require dan terserah bagi praktik negara penerima. Kalau negara penerima menganggap perlu agar nama-nama atase militer diberikan terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan, negara tersebut dapat melakukannya. Kalau tidak, suatu negara dapat mengirimkan atase-atase militer tanpa minta persetujuan negara setempat. Inggris menolak praktik meminta persetujuan ini sedangkan Mesir misalnya, meminta dulu nama atase pertahanan atau atase militer untuk mendapatkan persetujuannya.(Hukum Internasional, 2011)
  1. Penugasan Misi Diplomatik
Suatu misi diplomatik bisa berfungsi hanya apabila ia menerima kuasa izin dari negara penerima. Negara penerima juga mempunyai hak untuk menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur kedudukan hukum dan kegiatan-kegiatan diplomat asing. Penunjuk pejabat diplomatik merupakan tindakan konstitusional suatu negara. Ia bisa menunjuk setiap orang untuk jabatan diplomatik di negara lain. Sebaliknya, pejabat yang ditunjuk harus memperoleh kepercayaan dari negara penerima. Negara penerima boleh memutuskan tentang ketidakcocokan seorang pejabat diplomatik, dengan alasan apapun dan menolak menerimanya.
Menurut Earnest Satow, seorang utusan diplomatik hanya ditunjuk sesudah ada persetujuan penguasa negara penerima yang diketahui kepastiannya. Sesudah ditunjuk seorang diplomat diberi surat kepercayaan (letter of credence), surat ini memberikan wewenang kepada pejabat itu untuk menjalankan tugasnya. Surat kepercayaan ini diberikan oleh kepala negara untuk duta besar dan menteri dan oleh menteri luar negeri untuk kuasa usaha.
Pada saat menunjuk suatu misi diplomatik suatu pemerintah biasanya mengkaji apakah dengan kemampuan mental dan politiknya seorang diplomat mampu membuat pengaruh yang politiknya seorang diplomat mampu membuat pengaruh yang menguntungkan kepada lingkaran pemerintah negara penerima atau tidak.(Diplomasi, 1995)
  1. Penghentian Tugas Diplomatik
Penghentian tugas diplomatik yang tidak permanen terjadi secara otomatis dengan habisnya jangka waktu penunjukannya, seperti misalnya penugasan ke suatu kongres atau konperensi. Apabila kongres atau konperensi itu berakhir atau apabila seorang diplomat ditunjuk ad interim, dengan kembali bertugasnya pemegang jabatan tetap. Suatu penarikan kembali (recall) yang resmi tidak perlu dalam hal berikut ini: Apabila tujuan misi telah dicapai; atau telah diselesaikannya atau gagalnya tugas yang dipercayakan kepada misi yang untuk tugas itu misi tersebut secara khusus diciptakan. Penghentian atau penghapusan misi diplomatik permanen bisa terjadi karena sebab-sebab yang dibicarakan di bawah ini.
Apabila salah satu dari kedua pihak, dikarenakan alasan apapun, berhenti untuk mewakilkan negaranya. Oleh karena itu, dalam negara-negara kerajaan bilamana suatu perubahan dalam kerajaan terjadi dikarenakan matinya penguasa, pihak yang satu atau yang lain harus menunjuk lagi duta besar dan diplomat lain.
Sebuah misi diplomatik bisa dihentikan dengan menarik kembali diplomatnya. Penarikan kembali itu bisa terjadi dengan berbagai cara, ia mungkin ditarik oleh pemerintahannya sendiri apabila dirasa bahwa hubungan antara diplomat tersebut dengan pemerintah negara penerima tidak lagi meyenangkan; ia juga bisa dipanggil pulang karena alasan-alasan murni dalam negeri seperti perubahan pemerintah atau apabila ia dipindahkan negara penerima yang menganggapnya sebagai persona non grata karena dianggap menghina negara penerima itu, atau karena hubungan antara negara pengirim dan penerima demikian memburuk sehingga dituntut adanya penarikan kembali.
Duta besar dan pejabat diplomatik lainnya biasanya dinyatakan persona non grata hanya apabila kemanfaatannya dirusak dengan pernyataan-pernyataan politiknya yang tidak bijaksana, campur tangan masalah dalam negeri negara tuan rumah atau terlibat dalam kegiatan spionase di bawah kedok statusnya.(Diplomasi, 1995)
  1. Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik
Para pejabat diplomatik dan misi-misi diplomatik di suatu negara berada dalam suatu situasi yang khusus. Misi diplomatik tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam melakukan tugas-tugas resmi di negara penerima. Dasar pemberian semua kemudahan, hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para pejabat diplomatik asing di suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain. Adapun hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan kepada diplomat sebagai berikut:
Kekebalan pribadi, Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan “Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Merka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan, dan martabatnya.
Kekebalan yurisdiksional, diplomat bebas dari yurisdiksi negra penerima sehubungan dengan masalah kriminal, namun pasal 32 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bila seorang diplomat melakukan tindakan kriminal di negara pengirim atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatik. Bila kekebalan itu ditanggalkan maka tidak ada halangan bagi peradilan negara penerima untuk mengadilinya.
Pembebasan Pajak, pejabat diplomat bebas dari pungutan pajak yang dilakukan oleh negara penerima, pengecualian untuk pungutan-pungutan lokal seperti listik air,dll. Harta benda tak bergerak milik pribadi di negara penerima tetap dikenai pajak.
Hak istimewa dan kekebalan anggota keluarga pejabat diplomatik, Pasal 37 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa anggota-anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan. Hak dan kekebalan tersebut dibatasi kepada anggota keluarga yang berdiam dengan pejabat diplomatik yang bersangkutan.
Hak istimewa dan kekebalan anggota perwakilan lainnya dan pembantu rumah tangga, untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga negara penerima juga mendapat hak istimewa dan kekebalan.
  1. Privilese dan Kekebalan Pejabat Organisasi Internasional
LBB melalui Pasal 7 (4) Piagamnya menyatakan bahwa wakil-wakil negara-negara anggota dan pejabat Liga Bangsa Bangsa memperoleh privilase dan kekebalan diplomatik. PBB juga melalui Pasal 105 (2) Piagamnya menganugerahi para wakil negara anggotanya “privilese dan kekebalan yang penting bagi pelaksanaan fungsi mereka yang bebas dalam kaitannya dengan Organisasi.” Majelis Umum pada tanggal 13 Januari 1946 mensahkan General Convention on the Privileges and Immunities para wakil yang dikirim ke PBB.
Privilese tersebut meliputi kekebalan dari penahanan atau penangkapan, penahanan barang-barang bawaan pribadi, segala jenis proses hukum, jaminan atas semua surat-surat dan dokumen, dan lain-lain. Privilese dan kekebalan ini diberikan bagi para wakil negara-negara anggota bukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, melainkan agar mereka bisa melaksanakan fungsi mereka tanpa hambatan apapun berkaitan dengan kegiatan-kegiatan mereka dengan PBB.(Diplomasi,1995)
  1. Pejabat Konsuler, Mulai dan Berakhirnya Jabatan Konsuler
Konsul biasanya tidak dianggap sebagai bagian melekat dari Corps Diplomatique. Mereka bukan wakil negara mereka, mereka tidak diangkat sebagai wakil kepada suatu negara asing. Tetapi seorang Konsul, yang ditunjuk oleh negaranya, diakui oleh negara penerima sebagai pejabat resmi dan diizinkan melakukan fungsi-fungsi tertentu yang biasanya akan dipercayakan kepada pejabat negara di mana konsul bertempat tinggal. Terkadang seorang konsul juga diangkat sebagai charge d’affaires kepada negara penerima dan dalam keadaan itu diperbolehkan menikmati hak-hak khusus dan kekebalan diplomatik.
Kepala dinas konsuler diangkat oleh negara pengirim dengan tugas atau maklumat yang disusun secara rinci tentang golongan dan kelasnya, wilayah konsulernya, dan kedudukan konsultannya. Vice-consul dan pejabat konsuler juga disertai dokumen sejenis, biasanya dikenal sebagai brevet. Sesudah penunjukkan misi konsuler negara penerima memberitahukan penerimaan resminya dengan memberikan dokumen pengesahanny, dikenal sebagai exequatur.
Konsul Jenderal mempunyai kekuasaan mengawasi sebuah wilayah konsuler yang luas atau beberapa wilayah yang lebih kecil, tetapi tidak mesti atas seluruh wilayah dalam satu negara, dan atas para pejabat konsuler di dalam wilayah mereka. Berakhirnya jabatan konsuler bisa terjadi di bawah kondisi yang sama seperti pada misi diplomatik. Apabila seorang pejabat konsuler menghina negara penerima dengan tindakan-tindakannya, hal itu bisa mengakibatkan dicabutnya exequatur atas orang tersebut, atau tidak dianggapnya orang tersebut sebagai anggota staf konsuler.
  1. Privilese dan Hak Imunitas yang Dipunyai oleh Pejabat Konsuler
Seorang pejabat konsuler mempunyai hak kekebalan dan tak boleh ditahan atau dipenjara sambil menunggu pengadilan, kecuali apabila sebuah kekuasaan yudikatif yang berkompeten sampai pada kesimpulan akan keterlibatannya dalam perkara kriminal besar. Negara memberikan privilese ini hanya kepada kepala pos konsuler, sedangkan negara-negara lain kepada semua pejabat konsuler, dan beberapa yang lain lagi memperluasnya kepada golongan tertentu pekerja konsulat juga. Meskipun demikian, anggota konsulat memperoleh kekebalan terhadap yurisdiksi adminstratif dan penguasa hukum negara penerima dalam segala hal berkenaan dengan tindakan yang dilakukan dalam menjalankan fungsi konsuler. (Diplomasi, 1995)
Daftar Pustaka
Roy, S.L. 1995. Diplomasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: Press.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni. Jakarta Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar