Perwakilan Diplomatik, Konsuler, dan Protokuler
Perwakilan
Diplomatik
Diploma
berasal dari bahasa Latin atau Yunani yang diartikan sebagai surat kepercayaan.
Diplomat merupakan utusan atau pewakilan yang ditugaskan oleh kepala negara
untuk mengadakan perundingan yang dimana akan terjalin hubungan negara pengirim
dan negara penerima dalam rangka memperjuangkan kepentingan negara
masing-masing dengan sopan santun, tutur kata serta etika yang baik, namun
tetap mengupayakan kepentingan bersama. Seorang diplomat harus memiliki
pengetahuan yang luas mengenai kebiasaan, konvensi internasional, titik lemah
negara penerima atau musuh agar perundingan berjalan lancar, tidak merugikan
negara sendiri, dan tidak menimbulkan konflik antar negara. Diplomat atau utusan tersebut biasa dinamakan
duta besar, apabila duta besar dipulangkan oleh negara penerima maka perwakilan
kuasa usaha yang akan melanjutkan tugas duta besar tersebut.
Ketentuan-ketentuan
hubungan diplomatik antarnegara sudah ada sekitar abad 17, yang dimana
perwakilan tetapnya mulai berlaku pada tahun 1478, ketentuan-ketentuan ini
didasarkan pada hukum kebiasaan. Sejarah perkembangan hubungan diplomatik ini
berjalan lambat karena banyak terjadi penolakan, penolakan pertama datang dari
dewan LBB yang menolak perumusan kesepakatan mengenai hak-hak istimewa dan
kekebalan, kemudian berlanjut pada penolakan mengenai hubungan diplomatik
dikarenakan Perang Dingin, namun kali ini kesepakatan kekebalan diplomatik
diterima, dan selanjutnya berupa kesepakatan bukanlah penolakan dari majelis
umum melalui resolusi 1450 yang membahas keputusan untuk menyelenggarakan
konferensi internasional di Wina dari tanggal 2 maret sampai 14 april 1961
dengan agenda membahas masalah-masalah dan kekebalan-kekebalan diplomatik.
Konferensi ini telah menghasilkan 3 intsrumen, dari ketiga instrumen tersebut
Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik yang diterima dan ditandatangani oleh
75 negara pada tanggal 18 april 1961, dan diberlakukan pada tanggal 24 april
1964.
Negara
Indonesia merasa penting untuk mengadakan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri, oleh sebab itu Indonesia meratifikasi Konvensi Wina dengan
UU No.1 tahun 1982 pada tanggal 25 Januari 1982. Konvensi Wina tersebut
dilengkapi dengan Konvensi Misi-misi Khusus dan Indonesia pun meratifikasinya
dengan UU No.2 tahun 1982 pada tanggal yang sama, dan adapula Konvensi Wina
1963 tentang Hubungan Konsuler. Dalam
pencapaian pelaksanaan hubungan luar negeri, pemerintah RI beserta lembaga dan
instansinya membuat dan menetapkan UU No.37 tahun 1999 tentang hubungan luar
negeri pada tanggal 14 september 1999.
Dalam
pasal 14 Konvensi Wina 1961 telah ditetapkan mengenai tatanan atau
tingkat-tingkat perwakilan diplomatic, sebagai berikut :
·
Duta Besar yang berkuasa penuh atau
nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara dan kepala pewakilan lainnya.
·
Para Utusan, duta atau internuncios dan
menteri yang berkuasa penuh diakreditasikan kepada kepala negara.
·
Para kuasa usaha, dibagi 2 kuasa usaha
tetap merupakan pejabat diplomatik yang diutus sebagai pimpinan tetap misi
diplomatik yang diakreditasikan kepada kepala negara, dan kuasa usaha sementara
merupakan suatu pejabat diplomatik yang diutus sebagai pimpinan semetara misi
diplomatik apabila seorang duta besar dipanggil pulang yang diakreditasikan
kepada menteri luar negeri.
Dalam
hal pengangkatan staf perwakilan sudah diatur dalam Pasal 7 Konvensi, negara
pengirim perwakilan dapat mengangkat anggota-anggota staf perwakilan tanpa
memerlukan persetujuan dari negara penerima. Mengenai pengangkatan staf
perwakilan ini, terdapat 2 opsi, pertama negara pengirim dapat memberikan
nama-nama staf perwakilannya untuk dapat diteliti oleh negara penerima,
sehingga negara penerima dapat memberikan persetujuan, lalu opsi kedua adalah
negara pengirim bisa langsung saja mengirimkan staf perwakilannya tanpa
persetujuan negara penerima seperti halnya atase-atase pertahanan. Hal ini juga
berlaku pada besarnya staf perwakilan, dimana negara pengirim bebas menentukan
jumlah pejabat dan stafnya sesuai dengan intensitas hubungan kedua negara.
Namun hal ini merugikan negara penerima terlebih lagi apabila negara penerima
tersebut merupakan negara kecil, maka dari itu dibuatlah aturan dalam pasal 11
Konvensi Wina yang menyatakan bahwa negara penerima dapat meminta besarnya
perwakilan dalam batas yang normal, dan negara penerima secara murni tanpa
dasar diskriminasi dapat melakukan penolakan terhadap pejabat dan staf negara
pengirim.
Dalam
buku International Law (1960), Oppenheim menyatakan bahwa, hukum internasional
tidak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan
perwakilan diplomatik, baik sebagai duta besar ataupun konsul. Namun, berbeda
dengan Oppenheim, Sir Nicholson dalam buku Diplomacy (1950) mengatakan
sebaliknya. Menurutnya, seorang diplomat harus memenuhi syarat-syarat yang
harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah: Kejujuran,
Ketelitian, Ketenangan, Temperamen yang baik, Kesabaran dan kesederhanaan, dan Kesetiaan.
Apabila seorang diplomat yang ditutus memiliki syarat-syarat tersebut, setidaknya negara penerima tidak akan mempersepsikan bahwa diplomat yang akan menjadi perwakilan tetap di negara penerima, bukanlah suatu ‘ancaman’ yang akan melakukan praktek spionase dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya bagi negara penerima.
Apabila seorang diplomat yang ditutus memiliki syarat-syarat tersebut, setidaknya negara penerima tidak akan mempersepsikan bahwa diplomat yang akan menjadi perwakilan tetap di negara penerima, bukanlah suatu ‘ancaman’ yang akan melakukan praktek spionase dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya bagi negara penerima.
Konsuler
Selain
tugas-tugas diatas, perwakilan diplomatik dapat juga menjalankan tugas dan
fungsi konsuler seperti pencatatan kelahiran dan kematian, perkawinan,
perceraian, serta mengenai waris-mewarisi dari semua warganegaranya yang berada
di negara penerima.
Perwakilan
diplomatik pada umumnya mengurusi hal-hal yang bersifat politik, dan berurusan
dengan pejabat pemerintah tingkat pusat seperti presiden dan menteri. Hal-hal
yang demikian tidak dapat dilaksanakan oleh perwakilan konsuler. Perwakilan
konsuler juga tidak melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan situasi dan
kondisi negara penerima seperti mengamati perkembangan politik negara penerima
yang sedang berlangsung. Perwakilan
konsuler hanya menjalankan hubungan-hubungan dengan instansi pemerintah yang
menyangkut bidang perdagangan, perindustrian, perkapalan (navigasi), instansi
pengadilan dan instansi administratif yang mengurusi kepentingan warga
negaranya di negara penerima. Tugas dan fungsi perwakilan konsuler juga telah
dituangkan dalam Konvensi Wina 1963 sebagai berikut:
“Melindungi
kepentingan-kepentingan dari negara pengirim dan setiap warga-negaranya di
wilayah negara penerima, baik secara individu maupun badan usahanya dalam
batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.”
Selanjutnya ada dua golongan pejabat
konsuler lainnya yaitu, pejabat konsuler karier dan pejabat konsuler kehormatan
(honorary): Ketentuan dalam Bab II Konvensi 1963 ini hanya berlaku untuk pos
konsuler yang dikepalai oleh pejabat konsuler karier, sedangkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab III mengatur pos konsuler yang
dikepalai oleh pejabat konsuler kehormatan.
Status khusus pada anggota pos konsuler yang berkewarganegaraan atau penduduk tetap negara penerima diatur Pasal 71 Konvensi Wina 1963.
Status khusus pada anggota pos konsuler yang berkewarganegaraan atau penduduk tetap negara penerima diatur Pasal 71 Konvensi Wina 1963.
Pembukaannya berpedoman pada Pasal 2
Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler yang berbunyi: “Pembukaan
hubungan-hubungan konsuler antara negara-negara berlangsung atas dasar
persetujuan bersama.
Persetujuan yang diberikan untuk pembukaan hubungan diplomatik antara dua negara berarti juga persetujuan pembukaan hubungan konsuler, kecuali dinyatakan lain.
Pemutusan hubungan diplomatik, tidak ipso facto berakibat pada pemutusan hubungan konsuler.”
Persetujuan yang diberikan untuk pembukaan hubungan diplomatik antara dua negara berarti juga persetujuan pembukaan hubungan konsuler, kecuali dinyatakan lain.
Pemutusan hubungan diplomatik, tidak ipso facto berakibat pada pemutusan hubungan konsuler.”
Konsuler bebas menggunakan alat-alat
komunikasi untuk melaksanakan tugas seperti memakai jasa kurir konsuler,
kantong konsuler, dan pemancar radio dengan persetujuan negara penerima. Perlindungan
terhadap konsuler yang ingin memberikan laporan kepada kepala negara asal atas
dasar pertimbangan kebutuhan fungsional, yang dimana agak sedikit berbeda
dengan kekebalan diplomatik, kantong konsuler dapat dibuka oleh lembaga yang
berwenang di negara penerima, namun kantong diplomatic tidak boleh dibuka. Pejabat
konsuler akan mendapatkan kekebalan dari yuridiksi peradilan lokal, sipil
maupun kriminal ketika sedang menjalankan misi konsulernya. Rumah kediaman
perwakilan konsuler secara penuh bebas dari pajak nasional, regional, namun
tidak berlaku pada pajak listrik, air, dan sampah.
Para pejabat konsuler dan keluarganya terbebas dari pajak-pajak yang bersifat langsung. Dalam hal keperluan untuk menjalankan tugas, negara penerima memberikan hak istimewa yaitu pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor.
Para pejabat konsuler dan keluarganya terbebas dari pajak-pajak yang bersifat langsung. Dalam hal keperluan untuk menjalankan tugas, negara penerima memberikan hak istimewa yaitu pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor.
Protokuler
Protokuler berasal dari bahasa Yunani,
yaitu protos adalah pertama dan kolla adalah perekat, perekat pertama.
Protokuler merupakan peraturan-peraturan yang bersifat mengikat mengenai etika
diplomatik, konsuler, dan lain sebagainya agar terciptanya hubungan diplomatik
atau konsuler yang baik dan lancar sehingga terciptanya kepentingan bersama. Protokuler
memiliki jenis-jenis pelayanan yang telah diatur dalam UU No. 8 tahun 1987 negara
Indonesia, sebagai berikut :
·
Pelayanan yang
baik terhadap tamu dari negara asing ke suatu wilayah negara Indonesia.
·
Pelayanan
penerimaan dan apresiasi sebagai tanda jasa dan tanda penghormatan dari negara
Indonesia terhadap pejabat negara asing.
·
Pelayanan
penyelenggaraan konferensi tingkat internasional di suatu wilayah negara
Indonesia.
·
Pelayanan yang
baik terhadap para pejabat dalam negeri yang akan mengadakan kunjungan ke luar
negeri.
Daftar Pustaka :
Roy, L.S. 1995. Diplomasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
AK, Syahmin.
2008. Hukum Diplomasi dalam Kerangka
Studi Analisis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mauna,
Boer. 2000. Hukum Internasional:
Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.
Casinos near Casinos Near Casinos Near Casinos with Casino Near Me
BalasHapus› mapy-ro › casinos-near-casinos › mapy-ro › casinos-near-casinos Finding the nearest casinos with casino near me is 삼척 출장샵 a 천안 출장샵 great way 문경 출장샵 to 의왕 출장안마 get to local casinos and places where you can enjoy your 경상남도 출장안마 favorite