Kamis, 06 Oktober 2016

Diplomasi dan Hukum Internasional - Kintan Meidhita Sadena (2014230022)



Diplomasi dan Hukum Internasional



Menurut Jan Osmanczyk, Hukum diplomatik dapat dikatakan sebagai cabang lain dari hukum internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasi dari dinas diplomatik. Hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar prinsip kesepakatan bersama secara timbal balik, dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dibuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai hasil  kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif. Dengan semakin berkembanganya hubungan antarnegara maka diperlukan untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan negara negara tersebut.
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis umum PBB (GA.Res> 174 II/1947) menetapkan 14 topik pembahasan yang termasuk dengan topik hubungan diplomatik dan kekebalan kekebalan. Tetapi tidak mendapatkan prioritas dari bahasan diplomatik tersebut. Lalu, karena sering terjadi insiden diplomatik akibat perang dingin dan dilarangnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, atas usul resolusi delegasi Yugoslavia, majelis umum PBB pada tahun 1952 menerima resolusi yang meminta komisi Hukum Internasional memberikan Prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik. (Resolusi 685, VII, 5 desember 1953).
Dan pada tahun 1954 komisi mulai membahas masalah-masalah Hubungan dan kekebalan diplomatik dan sebelum akhir 1959 Majelis umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah konferensi internasional untuk membahas masalah masalah dan kekebalan diplomatik. Konferensi tersebut bernama the United Natin Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities mengadakan disidangnya di wina dari tanggal 2 maret hingga 14 april 1961. Wina terpilih dengan pertimbangan historis karena konferensi pertama mengenai hubungan diplomatik yang diselenggarakan di kota tersebut tahun 1815. (Vienna Convention on Diplomatic Relation) atau Konferensi wina tentang hubungan diplomatik 18 april 1961 merupakan instrumen terpenting yang dihasilkan.
Tiga tahun kemudian tanggal 24 april 1964 konvensi tersebut mulai berlaku. Selanjutnya konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai Misi-misi khusus (Convention Special Of Mission) yang diterima oleh majelis umum PBB pada tanggal 8 desember 1969. Konvensi mengenai misi-misi khusu ini telah diratifikasi Indonesia dengan undang-undang No.2 tahun 1982 pada tanggal 25  januari 1982. Konvensi wina tersebut adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatic yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi wina telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan antarnegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip. Konvensi wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.

HUBUNGAN DIPLOMATIK


A.    PEMBUKAAN DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK


1.      Pembukaan Hubungan Diplomatik

Berdasarkan pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961 bahwa:
“Pembukaan hubungan Diplomatik diantara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap Diplomatik dilakukan atas dasar kesepakatan” kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain.

Kesepakatan tersebut harus dalam bentuk untuk membuka hubungan diplomatik dan kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap. Hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara.

2.      Klasifikasi Pejabat Diplomatik

Menurut Konferensi Wina tahun 1961 pasal 14, klasifikasi Pejabat Diplomatik dibagi atas 3 kelas yaitu:
1. Para Duta Besar atau Nuncios yang dikareditasikan kepada Kepala Negara dan para kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya
2. Para Utusan, Duta dan Internuncious yang diakreditasikan kepada Kepala Negara
     3. Para Kuasa Usaha yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri

Kategori Kuasa Usaha atau Charge’ d’ Affaires dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu:
a.       Kuasa Usaha Tetap (Charge’ d’ Affaires en pied)
Yaitu memberikan suarat-surat kepercayaannya kepada Menteri Luar Negeri dan bukan kepada Kepala Negara. Pengangkatan kuasa uasaha tetap ini sering terjadi dimasa lampau untuk negara yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari negara induk, sebagai akibat terjadinya perang saudara atau revolusi.
b.      Kuasa Usaha Sementara (Charge’d’ Affaires ad interim).
Yaitu terjadi apabila Duta Besar dipanggil pulang karena memburuknya hubungan antara kedua negara yang sering disebabkan oleh masalah terorisme, pelanggaraan norma-norma diplomatic, campur tangan urusan dalam negeri atau pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi,  maka hal tersebut Kedutaan Besar tidak ditutup dan hanya dipimpin oleh Kuasa Usaha Sementara.

Praktek Diplomasi sehari-hari telah mengembangkan klasifikasi Pejabat Diplomatik dengan urutan gelar/kepangkatan yaitu sebagai berikut:
1)      Duta Besar
2)      Minister
3)      Minister Counsellor
4)      Counsellor
5)      Sekretaris Pertama
6)      Sekretaris Kedua
7)      Sekertaris Ketiga
8)      Atase




3.      Penunjukkan Kepala Perwakilan
Calon-calon Duta Besar diajukan oleh Menteri Luar Negeri kepada Kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama tergantung pada sistim dan praktik yang berlaku pada suatu negara. Di Indonesia sesuai dengan pasal 13 (2) tentang perubahan pertama UUD 1945 disebutkan bahwa;
“Dalam hal mengangkat Duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR”
Apabila pengangkatan seorang calon Duta Besar sudah diajukan kepada Pemerintah negara penerima melalui kedutaan besar negara pengirim untuk mendapatkan Agreement. Agreement yaitu persetujuan dari sebuah negara penerima atas dasar pengangkatan Duta Besar yang bersangkutan. Permintaan Agreement kepada pemerintah negara penerima akan dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan. Namun, Apabila permohonan Agreement tersebut dapat diterima oleh Pemerintah negara penerima, maka Duta Besar tersebut dapat melaksanakan tugasnya di negara tersebut.

4.      Pengangkatan Staf Perwakilan
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Konvensi Wina yaitu negara pengirim dapat bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Dalam hal tersebut, bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali Duta Besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Khusus untuk atase-atase pertahanan adalah tidak mutlak untuk meminta persetujuan dari negara penerima, jadi tergantung dari kebiasaan praktek dari masing-masing negara penerima.

5.      Jumlah Staf Perwakilan
Setelah ada kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatik tetap, maka terserah bagi negara pengirim untuk menentukan jumlah perwakilan atau jumlah pejabat dan staf yang harus ditempatkan di negara penerima atas dasar volume pekerjaan dan tingkat atau intensitas hubungan antara kedua negara. Konvensi Wina dalam pasal 11-nya menetapkan :
“ jika tidak ada persetujuan khusus mengenai besarnya perwakilan, negara penerima dapat minta agar besarnya suatu perwakilan selalu dalam batas-batas yang dianggap pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi dinegara penerima dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara penerima, dalam batas batas yang sama dan atas dasar non diskriminasi dapat menolak untuk menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu”.

6.      Persona Non-Grata
Menurut Pasal 9 Konvensi Wina yaitu:
“ Negara penerima setiap waktu dan tanpa penjelasan dapat membantu negara pengirim bahwa kepala perwakilan atau salah satu anggota staf diplomatiknya adalah persona non-grata dank arena itu harus dipanggil kembali atau mengakhiri tugasnya di negara penerima”
Pernyataan persona non-grata dikeluarkan oleh negara penerima apabila keberadaan seorang Diplomat tidak bisa lagi ditolerir, misalnya Diplomat tersebut terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan fasilitas perwakilan, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mancampuri urusan dalam negeri negara penerima, melakukan penyelundupan atau membuat pernyataan-pernyatan yang merugikan negara setempat. Sehingga sesuai dengan praktek hukum internasional yang berlaku, pemerintah negara penerima dapat menyatakan seorang diplomat persona non-grata dan sebagai akibatnya diplomat tersebut harus meninggalkan negara akreditasinya.

7.       Kantor Interests Section

Dampak putusnya hubungan diplomatik resmi antara dua negara dapat dikurangi dengan pembentukan Interests Section. Interest Section ini dapat dibentuk pada permulaan atau sebagai pendahuluan akan dicairkannya kembali hubungan diplomatik kedua negara atau didirikan di saat terjadinya pemutusan hubungan.
                                                                                              
8.      Berakhirnya Misi Diplomatik

Menurut pasal 43 Konvensi Wina yaitu berakhirnya misi diplomatik seorang staf perwakilan adalah karena:

1.                  Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas dari pejabat diplomatik itu telah berakhir
2.                  Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara tersebut menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan.

Alasan-alasan lain yang dapat menyebabkan berakhirnya misi diplomatik yaitu:
1.                  Putusnya hubungan diplomatik. Bila terjadi pemutusan hubungan diplomatik biasanya negara pengirim menarik anggota staf perwakilannya di negara penerima.
2.                  Hilangnya negara pengirim atau negara penerima. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penggabungan dua negara atau aneksasi oleh negara lain. Sebagai akibatnya kepal-kepala perwakilan harus memperoleh surat-surat kepercayan yang baru dari kepala negara mereka agar dapat meneruskan tugas-tugasnya.

B.     MODALITAS HUBUNGAN DIPLOMATIK

1. Penyerahan Surat-surat Kepercayaan Menurut pasal 13 Konvensi Wina yaitu:
       “seorang kepala perwakilan dianggap telah memulai tugasnya di negara akreditasi setelah menyerahkan surat-surat kepercayaan atau setelah memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan copy surat-surat kepercayaannya kepada kementrian luar negeri negara penerima”

2. Tugas-tugas perwakilan Diplomatik
Menurut pasal 3 Konvensi Wina, tugas-tugas perwakilan Diplomatik yaitu:
a.       Mewakili negara pengirim di negara penerima
b.      Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional
c.       Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima
d.      Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim
e.       Meningkatkan hubungan persahabatan antara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan

3. Akreditasi Rangkap atau Multipel
Dalam sistim akreditasi multipel, Pasal 5 ayat 2 Konvensi memperbolehkan negara pengirim membuka perwakilan diplomatik tetap yang dikepalai oleh seorang kuasa usaha ad interim di tiap-tiap negara penerima sedangkan duta besar tidak berdiam disana. Tetapi, hal ini jarang terjadi dalam prakteknya karena negara-negara akreditasi rangkap ini tidak mempunyai kantor tetap dan negara-negara tersebut hanya dikunjungi secara periodik oleh duta besar negara yang merangkap.


C.    HAK HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN
A.     Dasar-dasar pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan

Terdapat 3 teori yang menjadi dasar pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik di luar negeri yaitu:
1)      Teori Ekteritorialitas
Yaitu teori dimana seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, berada di luar wilayah negara akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana.
2)      Teori Representatif dari pejabat itu sendiri.
Yaitu baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan di negara penerima.
3)      Teori kebutuhan fungsional
Yaitu menurut teori ini hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan atas kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar.




B.     Hak-hak istimewa dan kekebalan Diplomatik
1)      Kekebalan Pribadi.
Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa:
“ Pejabat Diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya”
Seperti halnya dengan kantor-kantor perwakilan, terdapat dua aspek dari kekebalan yaitu kewajiban negara penerima untuk tidak melakukan hak-hak berdaulat terutama hak-hak penegakan hukum dan kewajiban untuk memperlakukan para pejabat diplomatik dengan hormat dan melindungi mereka dari gangguan orang-orang lain serta gangguan terhadap kebebasan dan martabat mereka.

2)      Kekebalan Yurisdiksional.
Dalam hal ini, seorang Diplomat mempunyai kebebasan dari negara penerima sehubungan dengan masalah-masalah kriminal. Jadi, kekebalan Diplomat dalam hal ini adalah bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili ataupun dihukum.

3)      Penanggalan Kekebalan.
Menurut Pasal 32 Konvensi Wina yaitu:
“Kekebalan dari kekuasaan hukum pejabat-pejabat Diplomatik dan orang-orang yang menikmati kekebalan dapat ditanggalkan oleh negara pengirim”

Umumnya yang menjadi penyebab penanggalan kekebalan yaitu karena perbuatan kriminal, penyelundupan, pelanggaran peraturan lalu lintas atau mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dan menabrak orang.




4)      Pembebasan Pajak
Duta besar dan para pejabat diplomatik lainnya tidak tunduk pada supremasi teritorial dari negara penerima, oleh karena itu maka mereka bebas dari semua pajak-pajak pribadi langsung dan tidak harus membayar pajak penghasilan atau pajak-pajak langsung lainnya, kecuali pajak-pajak lokal atau pembayaran jasa-jasa yang diberikan kepada perwakilan.
5)      Hak-hak Istimewa dan kekebalan anggota-anggota keluarga pejabat diplomatik.
Hak-hak istimewa dan kekebalan yang dimiliki oleh pejabat diplomatik berlaku juga kepada istri dan anggota-anggota keluarga mereka yang berdiam dengan pejabat diplomatik yang bersangkutan. Selain itu kekebalan diplomatik juga berlaku terhadap anggota keluarga pejabat diplomatik yang menemani mereka atau yang bepergian secara terpisah atau waktu mereka melewati wilayah negara ketiga untuk keperluan transit menuju ke negara penerima atau kembali ke negara mereka sendiri.
6)      Hak-hak istimewa dan kekebalan anggota-anggota perwakilan lainnya dan pembantu rumah tangga
Anggota-anggota staf administrasi dan teknik dari perwakilan bersama anggota-anggota keluarga mereka memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan kecuali bila kebebasan dari hukum perdata tata usaha negara penerima tidak meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan di luar tugas mereka. Begitu pula terhadap pembantu rumah tangga para staf diplomatik memepunyai hak kekebalan dan diplomatik seperti halnya anggota staf adminsitrasi dan teknik beserta keluarganya, namun mungkin kekbalannya tidak sebesar pejabat diplomatik. Mereka juga dibebaskan dari kewajiban untuk mebayar pajak dan pungutan karena mereka dianggap bukan merupakan warga negara darai negara penerima.






C.     Hak-hak Istimewa dan Kekebalan Perwakilan
a.       Perlindungan terhadap gedung-gedung perwakilan
Negara penerima berkewajiban untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan agar kantor-kantor ataupun rumah kediaman para diplomat bebas dari segala gangguan. Perlindungan ini bertitik tolak pada prinsip bahwa kantor-kantor perwakilan tidak boleh diganggu gugat dan oleh karena negara penerima berkewajiban untuk melindunginya.

b.      Kebebasan komunikasi
Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam kerahasiaan berkomunikasi dengan pemerintahnya. Surat menyurat para pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan atau disensor oleh negara penerima. Suatu perwakilan asing dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan pusat sedangkan instalasi radio dan pemnacr radio hanya dapat dilakukan atas izin negara setempat.
                         
c.       Kebebasan Bergerak
Para pejabat diplomatik di suatu negara mempunyai hak untuk melakukan perjalanan di seluruh wilayah negara akreditasi.

d.      Kekebalan kediaman pejabat diplomatik
Menurut pasal 30 Konvensi Wina yaitu bahwa kediaman pribadi pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat dan harus memperoleh perlindungan seperti halnya wisma perwakilan.

e.       Kantong Diplomatik
Adalah bungkusan yang berisi korespondensi resmi dan dokumen-dokumen atau barang-barang yang khusus digunakan untuk keperluan resmi.
Menurut pasal 27 ayat 3 dan 4 Konvensi Wina yaitu bahwa kantong diplomatik tidak boleh dibuka atau ditahan. Bungkusan-bungkusan yang dianggap kantong diplomatik harus dianggap mempunyai tanda-tanda luar yang jelas mengenai sifatnya dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang untuk keperluan resmi.

f.       Kurir Diplomatik
Pada saat melakukan tugas, seorang kurir diplomatik harus dilindungi oleh negara penerima demikian juga oleh para petugas-petugas di negara ketiga yang dilalui olehnya. Kurir diplomatik tersebut diberi kebebasan dari yurisdiksi pidana dan perdata serta perlindungan yang diperlukan selama menjalankan tugas.


HUBUNGAN DIPLOMATIK DAN ORGANISASI INTERNASIONAL

1.      Organisasi Internasional dan Hak Legasi Perwakilan
Negara-negara mempunyai perwakilan-perwakilan tetap pada organisasi internasional. Namun, menyamakan kedua hubungan ini tidak semudah yang dibayangkan. Pelaksaan hak legasi dalam kaitannya dengan organisasi internasional tidak semudah seperti yang terdapat dalam hubungan antarnegara. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh hak legasi organisasi-organisasi internasional seperti :
·         Bila diplomasi multilateral mempunya asal-usul yang sudah lama, pelembagaan yaitu pendirian organisasi internasional relatif masih baru. Sebagai akibatnya hukum yang berlaku terhadap organisasi-organisasi internasional belum semantap seperti yang berlaku terhadap hubungan antar negara.
·         Hubungan antar negara dan organisasi internasional menyangkut hubungan antara subjek subjek hukum yang sangat berbeda
·         Disamping itu hak legasi pasif organisasi-organisasi internasional menimbulkan permasalahan bukan saja bagi negara pengirim tetapi juga bagi negara dimana terdapat kantor pusat organisasi tersebut.




2.      Perwakilan Negara pada Organisasi Internasional
Pasal 5 konvensi tahun 1975 mengakui hak negara-negara anggota untuk membuka perwakilan-perwakilan tetap pada suatu organisasi internasional.  Bagi negara yang bukan anggota bisa membuka perwakilan-perwakilan tetap peninjau dengan syarat dibolehkan oleh ketentuan-ketentuan organisasi
3.      Perwakilan Organisasi-organisasi internasional
Hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan yang dikodifikasikan baik mengenai perwakilan organisasi organisasi internasional di negara negara anggota maupun organisasi internasional lainnya.
a.                   Perwakilan pada negara negara
b.                  Perwakilan pada organisasi internasional


HUBUNGAN KONSULER

1.      Historis
Setelah berakhirnya Perang dunia ke 2, komisi hukum internasional, mulai tahun 1955, melakukan kodifikasi tentang hubungan konsuler. Hasil dari komisi tersebut, majelis umum PBB tahun 1961 memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi kodifikasi di wina pada tahun 1963 yang merupakan lanjutan dari penerimaan Konvensi hubungan diplomatik tahun 1961. Pada tanggal 24 april 1963 terlahirlah konvensi hubungan konsuler yang mulai berlaku maret 1967. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan undang undang No.1 1982 pada tnggal 25 januari 1982.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh mahkamah yaitu:
“keberlangungan tanpa rintangan hubungan-hubungan konsuler yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa semenjak dahulu tidak kalah pentingnya dengan kegiatan kegiatan hubungan diplomatik dalam hukum internasional dewasa ini karena semuanya mendorong perkembangan hubungan bersahabat antar bangsa bangsa”.



2.      Lembaga Konsuler
a.       Pembukaan hubungan konsuler
b.      Exequator
c.       Fungsi-fungsi konsuler
d.      Tingkat-tingkat perwakilan kepala konsuler
3.      Hak hak istimewa dan kekebalan
Dalam konvensi wina 1963 tentang hubungan konsuler berisikan hak-hak istimew, kekebalan dan kemudahan yang diberikan kepada para pejabat konsuler dengan tujuan untuk memperlancar dan mempermudah kegiatan kegiatan yang dilakukan mereka di negara penerima. Antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
a.       Kekebalan Kantor-kantor Konsuler
b.      Kekebalan Alat-alat komunikasi
c.       Kebebasan Berkomunikasi
d.      Kekebalan Pribadi pejabat konsuler
e.       Kekebalan Fiskal dan Kekebalan lainnnya
f.       Pembebasan dari pebayaran pajak pribadi
g.      Pembebasan Bea masuk.


KESIMPULAN
            Kesimpulan dari pemaparan diatas adalah bahwa hukum diplomatik merupakan himpunan peraturan-peraturan penting, asas-asas dan ketentuan-ketentuan tentang fasilitas, hak-hak istimewa, kekebalan diplomatik, sebagai bagian dari Hukum Internasional. Kekebalan diplomatik tersebut merupakan bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau suatu tuntutan yang diberikan oleh negara tuan rumah atau dapat dipesona non grata. Maka dari itu perwakilan para diploatik memiliki peran penting dalam menjalin hubungan dengan negara yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA
DR. Boer Mauna, 2005. Hukum Internasional “Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global”. Bandung: P.T. ALUMNI.

Syahmin Ak, 2008. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar