Diplomasi
dan Hukum Internasional
Menurut Jan
Osmanczyk, Hukum diplomatik dapat dikatakan sebagai cabang lain dari hukum internasional
yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang
menetapkan kedudukan dan fungsi diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasi
dari dinas diplomatik. Hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional
yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar prinsip
kesepakatan bersama secara timbal balik, dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip
tersebut dibuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta,
maupun konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan
internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif. Dengan
semakin berkembanganya hubungan antarnegara maka diperlukan untuk membuat suatu
peraturan yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan negara negara tersebut.
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh
Majelis umum PBB (GA.Res> 174 II/1947) menetapkan 14 topik pembahasan yang
termasuk dengan topik hubungan diplomatik dan kekebalan kekebalan. Tetapi tidak
mendapatkan prioritas dari bahasan diplomatik tersebut. Lalu, karena sering
terjadi insiden diplomatik akibat perang dingin dan dilarangnya
ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, atas usul resolusi delegasi
Yugoslavia, majelis umum PBB pada tahun 1952 menerima resolusi yang meminta
komisi Hukum Internasional memberikan Prioritas untuk melakukan kodifikasi
mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik. (Resolusi 685, VII, 5 desember
1953).
Dan pada tahun 1954 komisi mulai membahas masalah-masalah Hubungan
dan kekebalan diplomatik dan sebelum akhir 1959 Majelis umum melalui resolusi
1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah konferensi internasional
untuk membahas masalah masalah dan kekebalan diplomatik. Konferensi tersebut
bernama the United Natin Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities
mengadakan disidangnya di wina dari tanggal 2 maret hingga 14 april 1961. Wina terpilih
dengan pertimbangan historis karena konferensi pertama mengenai hubungan
diplomatik yang diselenggarakan di kota tersebut tahun 1815. (Vienna Convention on Diplomatic Relation)
atau Konferensi wina tentang hubungan diplomatik 18 april 1961 merupakan
instrumen terpenting yang dihasilkan.
Tiga tahun kemudian tanggal 24 april 1964 konvensi tersebut mulai
berlaku. Selanjutnya konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai
Misi-misi khusus (Convention Special Of
Mission) yang diterima oleh majelis umum PBB pada tanggal 8 desember 1969.
Konvensi mengenai misi-misi khusu ini telah diratifikasi Indonesia dengan
undang-undang No.2 tahun 1982 pada tanggal 25
januari 1982. Konvensi wina tersebut adalah sebagai pengakuan oleh semua
negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatic yang sudah ada sejak dahulu.
Konvensi wina telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena
masyarakat internasional dalam mengatur hubungan antarnegara telah dapat
menyusun kodifikasi prinsip. Konvensi wina ini sungguh merupakan kode
diplomatik yang sebenarnya.
HUBUNGAN DIPLOMATIK
A.
PEMBUKAAN DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK
1.
Pembukaan Hubungan Diplomatik
Berdasarkan
pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961 bahwa:
“Pembukaan hubungan Diplomatik diantara negara-negara dan
pembukaan perwakilan tetap Diplomatik dilakukan atas dasar kesepakatan”
kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama,
perjanjian persahabatan, dan lain-lain.
Kesepakatan tersebut harus dalam bentuk untuk membuka
hubungan diplomatik dan kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap. Hukum
internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik
dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi
diplomatik asing di suatu negara.
2.
Klasifikasi Pejabat Diplomatik
Menurut Konferensi Wina tahun 1961 pasal 14, klasifikasi
Pejabat Diplomatik dibagi atas 3 kelas yaitu:
1. Para Duta
Besar atau Nuncios yang dikareditasikan kepada Kepala Negara dan para kepala
perwakilan lain yang sama pangkatnya
2. Para
Utusan, Duta dan Internuncious yang diakreditasikan kepada Kepala Negara
3. Para
Kuasa Usaha yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri
Kategori
Kuasa Usaha atau Charge’ d’ Affaires dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu:
a. Kuasa
Usaha Tetap (Charge’ d’ Affaires en pied)
Yaitu memberikan suarat-surat
kepercayaannya kepada Menteri Luar Negeri dan bukan kepada Kepala Negara.
Pengangkatan kuasa uasaha tetap ini sering terjadi dimasa lampau untuk negara
yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari negara induk, sebagai akibat
terjadinya perang saudara atau revolusi.
b. Kuasa
Usaha Sementara (Charge’d’ Affaires ad interim).
Yaitu terjadi apabila Duta Besar
dipanggil pulang karena memburuknya hubungan antara kedua negara yang sering
disebabkan oleh masalah terorisme, pelanggaraan norma-norma diplomatic, campur
tangan urusan dalam negeri atau pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi, maka hal tersebut Kedutaan Besar tidak
ditutup dan hanya dipimpin oleh Kuasa Usaha Sementara.
Praktek Diplomasi sehari-hari telah mengembangkan klasifikasi
Pejabat Diplomatik dengan urutan gelar/kepangkatan yaitu sebagai berikut:
1)
Duta
Besar
2)
Minister
3)
Minister
Counsellor
4)
Counsellor
5)
Sekretaris
Pertama
6)
Sekretaris
Kedua
7)
Sekertaris
Ketiga
8)
Atase
3.
Penunjukkan Kepala Perwakilan
Calon-calon Duta Besar diajukan oleh Menteri Luar Negeri
kepada Kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan
calon-calon tidak selalu sama tergantung pada sistim dan praktik yang berlaku
pada suatu negara. Di Indonesia sesuai dengan pasal 13 (2)
tentang perubahan pertama UUD 1945 disebutkan bahwa;
“Dalam hal
mengangkat Duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR”
Apabila pengangkatan seorang calon Duta Besar sudah
diajukan kepada Pemerintah negara penerima melalui kedutaan besar negara
pengirim untuk mendapatkan Agreement.
Agreement yaitu persetujuan dari sebuah
negara penerima atas dasar pengangkatan Duta Besar yang bersangkutan. Permintaan
Agreement kepada pemerintah negara
penerima akan dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya
calon yang diajukan. Namun, Apabila permohonan Agreement tersebut dapat diterima oleh
Pemerintah negara penerima, maka Duta Besar tersebut dapat melaksanakan
tugasnya di negara tersebut.
4.
Pengangkatan Staf Perwakilan
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Konvensi Wina yaitu negara
pengirim dapat bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Dalam hal
tersebut, bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali Duta Besar tidak
memerlukan persetujuan negara penerima. Khusus untuk atase-atase pertahanan
adalah tidak mutlak untuk meminta persetujuan dari negara penerima, jadi
tergantung dari kebiasaan praktek dari masing-masing negara penerima.
5.
Jumlah Staf Perwakilan
Setelah ada kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatik
tetap, maka terserah bagi negara pengirim untuk menentukan jumlah perwakilan
atau jumlah pejabat dan staf yang harus ditempatkan di negara penerima atas
dasar volume pekerjaan dan tingkat atau intensitas hubungan antara kedua
negara. Konvensi Wina dalam pasal 11-nya menetapkan :
“ jika tidak
ada persetujuan khusus mengenai besarnya perwakilan, negara penerima dapat
minta agar besarnya suatu perwakilan selalu dalam batas-batas yang dianggap
pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi dinegara penerima
dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara penerima, dalam batas
batas yang sama dan atas dasar non diskriminasi dapat menolak untuk menerima
pejabat-pejabat dari kategori tertentu”.
6.
Persona Non-Grata
Menurut
Pasal 9 Konvensi Wina yaitu:
“
Negara penerima setiap waktu dan tanpa penjelasan dapat membantu negara
pengirim bahwa kepala perwakilan atau salah satu anggota staf diplomatiknya adalah
persona non-grata dank arena itu harus dipanggil kembali atau mengakhiri
tugasnya di negara penerima”
Pernyataan
persona non-grata dikeluarkan oleh negara penerima apabila keberadaan seorang
Diplomat tidak bisa lagi ditolerir, misalnya Diplomat tersebut terbukti
melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan
mereka melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan fasilitas perwakilan,
melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mancampuri urusan dalam negeri
negara penerima, melakukan penyelundupan atau membuat pernyataan-pernyatan yang
merugikan negara setempat. Sehingga sesuai dengan praktek hukum internasional
yang berlaku, pemerintah negara penerima dapat menyatakan seorang diplomat
persona non-grata dan sebagai akibatnya diplomat tersebut harus meninggalkan
negara akreditasinya.
7.
Kantor Interests
Section
Dampak
putusnya hubungan diplomatik resmi antara dua negara dapat dikurangi dengan
pembentukan Interests Section. Interest Section ini dapat dibentuk pada permulaan
atau sebagai pendahuluan akan dicairkannya kembali hubungan diplomatik kedua
negara atau didirikan di saat terjadinya pemutusan hubungan.
8.
Berakhirnya Misi Diplomatik
Menurut pasal 43 Konvensi Wina yaitu berakhirnya misi diplomatik seorang staf
perwakilan adalah karena:
1.
Adanya
pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas dari
pejabat diplomatik itu telah berakhir
2.
Adanya
pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara tersebut
menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan.
Alasan-alasan lain yang dapat menyebabkan berakhirnya
misi diplomatik yaitu:
1.
Putusnya
hubungan diplomatik. Bila terjadi pemutusan hubungan diplomatik biasanya negara
pengirim menarik anggota staf perwakilannya di negara penerima.
2.
Hilangnya negara pengirim atau negara
penerima. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penggabungan dua negara atau
aneksasi oleh negara lain. Sebagai akibatnya kepal-kepala perwakilan harus
memperoleh surat-surat kepercayan yang baru dari kepala negara mereka agar
dapat meneruskan tugas-tugasnya.
B. MODALITAS
HUBUNGAN DIPLOMATIK
1.
Penyerahan Surat-surat Kepercayaan Menurut pasal 13 Konvensi Wina yaitu:
“seorang
kepala perwakilan dianggap telah memulai tugasnya di negara akreditasi setelah
menyerahkan surat-surat kepercayaan atau setelah memberitahukan kedatangannya
dan menyerahkan copy surat-surat kepercayaannya kepada kementrian luar negeri
negara penerima”
2.
Tugas-tugas perwakilan Diplomatik
Menurut
pasal 3 Konvensi Wina, tugas-tugas perwakilan Diplomatik yaitu:
a. Mewakili
negara pengirim di negara penerima
b. Melindungi
kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima
dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional
c. Melakukan
perundingan dengan pemerintah negara penerima
d. Memperoleh
kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara
penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim
e.
Meningkatkan
hubungan persahabatan antara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan
hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan
3.
Akreditasi Rangkap atau Multipel
Dalam
sistim akreditasi multipel, Pasal 5 ayat 2 Konvensi memperbolehkan negara
pengirim membuka perwakilan diplomatik tetap yang dikepalai oleh seorang kuasa
usaha ad interim di tiap-tiap negara penerima sedangkan duta besar tidak
berdiam disana. Tetapi, hal ini jarang terjadi dalam prakteknya karena
negara-negara akreditasi rangkap ini tidak mempunyai kantor tetap dan
negara-negara tersebut hanya dikunjungi secara periodik oleh duta besar negara
yang merangkap.
C. HAK
HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN
A.
Dasar-dasar pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan
Terdapat 3 teori yang menjadi dasar pemberian hak-hak
istimewa dan kekebalan diplomatik di luar negeri yaitu:
1)
Teori
Ekteritorialitas
Yaitu teori
dimana seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan
negaranya, berada di luar wilayah negara akreditasi, walaupun sebenarnya ia
berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana.
2)
Teori
Representatif dari pejabat itu sendiri.
Yaitu baik
pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik mewakili negara pengirim dan
kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik
asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan di negara penerima.
3)
Teori
kebutuhan fungsional
Yaitu menurut
teori ini hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi
diplomatik hanya didasarkan atas kebutuhan fungsional agar para pejabat
diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar.
B. Hak-hak
istimewa dan kekebalan Diplomatik
1)
Kekebalan
Pribadi.
Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa:
“ Pejabat
Diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan.
Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus
mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri,
kebebasan dan martabatnya”
Seperti halnya
dengan kantor-kantor perwakilan, terdapat dua aspek dari kekebalan yaitu
kewajiban negara penerima untuk tidak melakukan hak-hak berdaulat terutama
hak-hak penegakan hukum dan kewajiban untuk memperlakukan para pejabat
diplomatik dengan hormat dan melindungi mereka dari gangguan orang-orang lain
serta gangguan terhadap kebebasan dan martabat mereka.
2)
Kekebalan
Yurisdiksional.
Dalam hal ini,
seorang Diplomat mempunyai kebebasan dari negara penerima sehubungan dengan
masalah-masalah kriminal. Jadi, kekebalan Diplomat dalam hal ini adalah
bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili ataupun
dihukum.
3)
Penanggalan
Kekebalan.
Menurut Pasal
32 Konvensi Wina yaitu:
“Kekebalan
dari kekuasaan hukum pejabat-pejabat Diplomatik dan orang-orang yang menikmati
kekebalan dapat ditanggalkan oleh negara pengirim”
Umumnya yang
menjadi penyebab penanggalan kekebalan yaitu karena perbuatan kriminal,
penyelundupan, pelanggaran peraturan lalu lintas atau mengendarai mobil dalam
keadaan mabuk dan menabrak orang.
4)
Pembebasan
Pajak
Duta besar dan
para pejabat diplomatik lainnya tidak tunduk pada supremasi teritorial dari
negara penerima, oleh karena itu maka mereka bebas dari semua pajak-pajak
pribadi langsung dan tidak harus membayar pajak penghasilan atau pajak-pajak
langsung lainnya, kecuali pajak-pajak lokal atau pembayaran jasa-jasa yang diberikan
kepada perwakilan.
5)
Hak-hak
Istimewa dan kekebalan anggota-anggota keluarga pejabat diplomatik.
Hak-hak
istimewa dan kekebalan yang dimiliki oleh pejabat diplomatik berlaku juga
kepada istri dan anggota-anggota keluarga mereka yang berdiam dengan pejabat
diplomatik yang bersangkutan. Selain itu kekebalan diplomatik juga berlaku
terhadap anggota keluarga pejabat diplomatik yang menemani mereka atau yang
bepergian secara terpisah atau waktu mereka melewati wilayah negara ketiga
untuk keperluan transit menuju ke negara penerima atau kembali ke negara mereka
sendiri.
6)
Hak-hak
istimewa dan kekebalan anggota-anggota perwakilan lainnya dan pembantu rumah
tangga
Anggota-anggota
staf administrasi dan teknik dari perwakilan bersama anggota-anggota keluarga
mereka memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan kecuali bila
kebebasan dari hukum perdata tata usaha negara penerima tidak meliputi
tindakan-tindakan yang dilakukan di luar tugas mereka. Begitu pula terhadap
pembantu rumah tangga para staf diplomatik memepunyai hak kekebalan dan
diplomatik seperti halnya anggota staf adminsitrasi dan teknik beserta
keluarganya, namun mungkin kekbalannya tidak sebesar pejabat diplomatik. Mereka
juga dibebaskan dari kewajiban untuk mebayar pajak dan pungutan karena mereka
dianggap bukan merupakan warga negara darai negara penerima.
C. Hak-hak
Istimewa dan Kekebalan Perwakilan
a.
Perlindungan
terhadap gedung-gedung perwakilan
Negara
penerima berkewajiban untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan agar
kantor-kantor ataupun rumah kediaman para diplomat bebas dari segala gangguan.
Perlindungan ini bertitik tolak pada prinsip bahwa kantor-kantor perwakilan
tidak boleh diganggu gugat dan oleh karena negara penerima berkewajiban untuk
melindunginya.
b.
Kebebasan
komunikasi
Para pejabat
diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam
kerahasiaan berkomunikasi dengan pemerintahnya. Surat menyurat para pejabat
diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan atau disensor oleh negara penerima.
Suatu perwakilan asing dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam
komunikasinya dengan pusat sedangkan instalasi radio dan pemnacr radio hanya
dapat dilakukan atas izin negara setempat.
c.
Kebebasan
Bergerak
Para pejabat
diplomatik di suatu negara mempunyai hak untuk melakukan perjalanan di seluruh
wilayah negara akreditasi.
d.
Kekebalan
kediaman pejabat diplomatik
Menurut pasal
30 Konvensi Wina yaitu bahwa kediaman pribadi pejabat diplomatik tidak boleh
diganggu gugat dan harus memperoleh perlindungan seperti halnya wisma
perwakilan.
e.
Kantong
Diplomatik
Adalah
bungkusan yang berisi korespondensi resmi dan dokumen-dokumen atau
barang-barang yang khusus digunakan untuk keperluan resmi.
Menurut pasal
27 ayat 3 dan 4 Konvensi Wina yaitu bahwa kantong diplomatik tidak boleh dibuka
atau ditahan. Bungkusan-bungkusan yang dianggap kantong diplomatik harus
dianggap mempunyai tanda-tanda luar yang jelas mengenai sifatnya dan hanya
boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang untuk keperluan
resmi.
f.
Kurir
Diplomatik
Pada saat
melakukan tugas, seorang kurir diplomatik harus dilindungi oleh negara penerima
demikian juga oleh para petugas-petugas di negara ketiga yang dilalui olehnya.
Kurir diplomatik tersebut diberi kebebasan dari yurisdiksi pidana dan perdata
serta perlindungan yang diperlukan selama menjalankan tugas.
HUBUNGAN
DIPLOMATIK DAN ORGANISASI INTERNASIONAL
1. Organisasi
Internasional dan Hak Legasi Perwakilan
Negara-negara mempunyai perwakilan-perwakilan tetap pada
organisasi internasional. Namun, menyamakan kedua hubungan ini tidak semudah
yang dibayangkan. Pelaksaan hak legasi dalam kaitannya dengan organisasi
internasional tidak semudah seperti yang terdapat dalam hubungan antarnegara.
Ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh hak legasi organisasi-organisasi
internasional seperti :
·
Bila
diplomasi multilateral mempunya asal-usul yang sudah lama, pelembagaan yaitu
pendirian organisasi internasional relatif masih baru. Sebagai akibatnya hukum
yang berlaku terhadap organisasi-organisasi internasional belum semantap
seperti yang berlaku terhadap hubungan antar negara.
·
Hubungan
antar negara dan organisasi internasional menyangkut hubungan antara subjek
subjek hukum yang sangat berbeda
·
Disamping
itu hak legasi pasif organisasi-organisasi internasional menimbulkan
permasalahan bukan saja bagi negara pengirim tetapi juga bagi negara dimana
terdapat kantor pusat organisasi tersebut.
2. Perwakilan
Negara pada Organisasi Internasional
Pasal 5 konvensi
tahun 1975 mengakui hak negara-negara anggota untuk membuka
perwakilan-perwakilan tetap pada suatu organisasi internasional. Bagi negara yang bukan anggota bisa membuka
perwakilan-perwakilan tetap peninjau dengan syarat dibolehkan oleh
ketentuan-ketentuan organisasi
3. Perwakilan
Organisasi-organisasi internasional
Hingga saat
ini belum ada ketentuan-ketentuan yang dikodifikasikan baik mengenai perwakilan
organisasi organisasi internasional di negara negara anggota maupun organisasi
internasional lainnya.
a.
Perwakilan
pada negara negara
b.
Perwakilan
pada organisasi internasional
HUBUNGAN
KONSULER
1. Historis
Setelah berakhirnya
Perang dunia ke 2, komisi hukum internasional, mulai tahun 1955, melakukan
kodifikasi tentang hubungan konsuler. Hasil dari komisi tersebut, majelis umum
PBB tahun 1961 memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi kodifikasi di
wina pada tahun 1963 yang merupakan lanjutan dari penerimaan Konvensi hubungan
diplomatik tahun 1961. Pada tanggal 24 april 1963 terlahirlah konvensi hubungan
konsuler yang mulai berlaku maret 1967. Indonesia telah meratifikasi konvensi
tersebut dengan undang undang No.1 1982 pada tnggal 25 januari 1982.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh mahkamah yaitu:
“keberlangungan
tanpa rintangan hubungan-hubungan konsuler yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa
semenjak dahulu tidak kalah pentingnya dengan kegiatan kegiatan hubungan
diplomatik dalam hukum internasional dewasa ini karena semuanya mendorong
perkembangan hubungan bersahabat antar bangsa bangsa”.
2. Lembaga
Konsuler
a.
Pembukaan
hubungan konsuler
b.
Exequator
c.
Fungsi-fungsi
konsuler
d.
Tingkat-tingkat
perwakilan kepala konsuler
3. Hak
hak istimewa dan kekebalan
Dalam konvensi wina 1963 tentang hubungan konsuler
berisikan hak-hak istimew, kekebalan dan kemudahan yang diberikan kepada para
pejabat konsuler dengan tujuan untuk memperlancar dan mempermudah kegiatan
kegiatan yang dilakukan mereka di negara penerima. Antara lain dapat disebutkan
sebagai berikut:
a.
Kekebalan
Kantor-kantor Konsuler
b.
Kekebalan
Alat-alat komunikasi
c.
Kebebasan
Berkomunikasi
d.
Kekebalan
Pribadi pejabat konsuler
e.
Kekebalan
Fiskal dan Kekebalan lainnnya
f.
Pembebasan
dari pebayaran pajak pribadi
g.
Pembebasan
Bea masuk.
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari pemaparan diatas adalah bahwa hukum diplomatik merupakan himpunan
peraturan-peraturan penting, asas-asas dan ketentuan-ketentuan tentang
fasilitas, hak-hak istimewa, kekebalan diplomatik, sebagai bagian dari Hukum
Internasional. Kekebalan diplomatik tersebut merupakan bentuk kekebalan hukum
dan kebijakan yang dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat
diberikan perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau
suatu tuntutan yang diberikan oleh negara tuan rumah atau dapat dipesona non
grata. Maka dari itu perwakilan para diploatik memiliki peran penting dalam
menjalin hubungan dengan negara yang bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
DR. Boer Mauna, 2005. Hukum Internasional “Pengertian
Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global”. Bandung: P.T. ALUMNI.
Syahmin Ak, 2008. Hukum Diplomatik dalam Kerangka
Studi Analisis. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar