Kamis, 15 September 2016

Diplomasi - Dekki Nur (2014230119)



Fungsi Dan Ruang Lingkup Diplomasi

Diplomasi yang sering digambarkan sebagai “the politics of international relations” telah berkembang terus-menerus seiring dengan sejarah sebagai suatu metode yang berhubungan dengan dunia yang keras. Di dalam dunia yang terdiri dari sistem kenegaraan yang kompetitif, negara-negara bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, memajukan kepentingan nasional mereka sendiri dan menguasai negara lain. Persaingan terus berlangsung antara negara-negara dalam mengejar tujuannya. Bahkan tidak jarang suatu negara mengejar tujuan yang lebih dari satu. Salah satu fungsi diplomasi adalah untuk mendamaikan beragamnya kepentingan ini atau paling tidak membuatnya berkesesuaian.
Diakui secara luas bahwa salah satu fungsi utama diplomasi adalah negosiasi. Diplomasi mempunyai ruang lingkup menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan negara-negara melalui negosiasi yang sukses. Apabila negosiasi gagal, para diplomat menyalahkan lawannya di muka masyarakat internasional. Contoh klasik dari hal ini bisa kita temui di Mahabarata. Sebelum terjadinya perang besar di Kurusetra, Kresna bertindak sebagai wakil khusus para Pandawa kepada para Kurawa untuk berunding dan menyelesaikan masalah secara damai.  Setiap orang tahu bahwa Kurawa tak menginginkan pemecahan damai atas masalah tersebut. Oleh karena itu, pada saat Kresna sedang melakukan tugasnya, Drupadi, Ratu Pandawa bertanya mengapa ia mau melakukan suatu misi yang takkan berhasil. Kresna menjawab “saya harus ke Kurawa untuk menjelaskan masalah kita baik-baik dan mencoba menbujuk mereka untuk menerima permintaan kita; tetapi apabila usaha saya tidak berhasil dan perang tidak dapat dihindarkan, kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita benar dan mereka melakukan ketidakadilan kepada kita sehingga dunia tidak salah menilai terhdapa kita”. Ini menyatakan dengan jelas maksud utama dan ruang lingkup utama diplomasi.
Anggota-anggota yang berdaulat dari masyarakat internasional yang ingin mengejar sebuah politik luar negeri yang cerdik selalu membandingkan tujuan mereka sendiri dengan tujuan negara lain dipandang dari sudut kecocokannya. Apabila mereka tidak sejalan, maka ketidakcocokan itu akan dipertimbangkan apakah mendasar dan menimbulkan konsekuensi  tertentu untuk seterusnya ditentukan akan dicapai atau tidak. Apabila ternyata tidak apa-apa dan tidak mempengaruhi kepentingan penting bangsa, suatu negara bisa meninggalkannya. Tetapi apabila kepentingan suatu negara tidak sejalan dengan kepentingan negara lain dan itu vital, maka ia akan berusaha untuk memecahkan masalah ini melalui bargaining “take and give” untuk mencapai kesesuaian. Jika ketidakcocokan tujuan itu sangat vital dan bisa menghambat kepentingan nasional utama salah satu negara maka pemecahan kompromi melalui cara damai bisa gagal.  Untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing, pihak yang berselisih tersebut mungkin mempertimbangkan politik konfrontasi.
Secara universal diakui bahwa tujuan diplomasi yang baik adalah untuk memilih cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Seperti telah disebutkan di depan, tiga cara dasar diplomasi adalah kerja sama, penyesesuaian serta penentangan. Juga umumnya diterima bahwa pencapaian tujuan melalui sarana damai lebih disukai dan tidak ada diplomasi yang menekankan pada penentangan, ancaman, atau penggunaan kekuatan yang dianggap baik dan ideal dikarenakan tidak ada perang yang bisa selalu diramalkan hasilnya dan bahkan peperangan yang berhasil pun bisa membawa suatu bangsa ke titik kelelahan. Oleh karena itulah para penulis India Kuno memberikan penekanan khusus pada pemilihan danda atau penggunaan kekuatan sebagai sarana terakhir setelah semua tindakan diplomasi gagal. Tetapi sekali lagi hal ini tidak boleh dianggap bahwa penggunaan kekuatan merupakan suatu alat diplomasi yang penting. Ini karena tidak ada diplomasi yang gagal dalam perundingan dan pemecahan damai bisa disebut sebagai diplomasi yang baik dan sukses. Oleh karena itu hakikat diplomasi yang sukses adalah kemampuan menempatkan penekanan yang benar pada setiap keadaan tertentu pada satu atau lebih instrumen diplomasi termasuk penggunaan kekuatan. Selain itu memang merupakan kenyataan yang diterima bahwa “negotiation from strenght” merupakan anjuran yang benar, tanpa kekuatan militer pendukung, tidak satu negara pun yang bisa menghindari tekanan atas kepentingan vitalnya.
Aksioma “when diplomacy stops, war starts” adalah pernyataan yang tidak benar. Bargaining yang dalam masa damai disebut diplomasi tidak berakhir ketika perang dimulai. Hanya karakternya yang berubah. Tetapi perang bukan dengan sendirinya merupakan alternatif bagi negosiasi; ia merupakan bargaining yang dilakukan dengan kekerasan. Dalam hubungan ini harus diingat bahwa kapan pun negosiasi damai dilaksanakan, power berdiri dibelakang “siap siaga”, bila mana dibutuhkan dibawa ke front depan untuk dijadikan sebagai ancaman dan ancaman ternyata tidak efektif, ia digunakan secara terbuka. Dengan demikian ruang lingkup diplomasi tidak berakhir dengan adanya penghentian perdamaian. Ruang lingkupnya tetap valid meskipun selama perang hanya caranya yang berbeda.

Sumber
Buku : Roy, L, S. 1995. “Diplomasi”. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar