Fungsi Dan Ruang Lingkup Diplomasi
Diplomasi
yang sering digambarkan sebagai “the politics of international relations” telah
berkembang terus-menerus seiring dengan sejarah sebagai suatu metode yang
berhubungan dengan dunia yang keras. Di dalam dunia yang terdiri dari sistem
kenegaraan yang kompetitif, negara-negara bersaing satu sama lain untuk
bertahan hidup, memajukan kepentingan nasional mereka sendiri dan menguasai
negara lain. Persaingan terus berlangsung antara negara-negara dalam mengejar
tujuannya. Bahkan tidak jarang suatu negara mengejar tujuan yang lebih dari
satu. Salah satu fungsi diplomasi adalah untuk mendamaikan beragamnya
kepentingan ini atau paling tidak membuatnya berkesesuaian.
Diakui
secara luas bahwa salah satu fungsi utama diplomasi adalah negosiasi. Diplomasi
mempunyai ruang lingkup menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan
negara-negara melalui negosiasi yang sukses. Apabila negosiasi gagal, para
diplomat menyalahkan lawannya di muka masyarakat internasional. Contoh klasik
dari hal ini bisa kita temui di Mahabarata.
Sebelum terjadinya perang besar di Kurusetra, Kresna bertindak sebagai
wakil khusus para Pandawa kepada para Kurawa untuk berunding dan menyelesaikan
masalah secara damai. Setiap orang tahu
bahwa Kurawa tak menginginkan pemecahan damai atas masalah tersebut. Oleh
karena itu, pada saat Kresna sedang melakukan tugasnya, Drupadi, Ratu Pandawa
bertanya mengapa ia mau melakukan suatu misi yang takkan berhasil. Kresna
menjawab “saya harus ke Kurawa untuk menjelaskan masalah kita baik-baik dan
mencoba menbujuk mereka untuk menerima permintaan kita; tetapi apabila usaha
saya tidak berhasil dan perang tidak dapat dihindarkan, kita harus menunjukkan
kepada dunia bahwa kita benar dan mereka melakukan ketidakadilan kepada kita
sehingga dunia tidak salah menilai terhdapa kita”. Ini menyatakan dengan jelas
maksud utama dan ruang lingkup utama diplomasi.
Anggota-anggota
yang berdaulat dari masyarakat internasional yang ingin mengejar sebuah politik
luar negeri yang cerdik selalu membandingkan tujuan mereka sendiri dengan
tujuan negara lain dipandang dari sudut kecocokannya. Apabila mereka tidak
sejalan, maka ketidakcocokan itu akan dipertimbangkan apakah mendasar dan
menimbulkan konsekuensi tertentu untuk
seterusnya ditentukan akan dicapai atau tidak. Apabila ternyata tidak apa-apa
dan tidak mempengaruhi kepentingan penting bangsa, suatu negara bisa
meninggalkannya. Tetapi apabila kepentingan suatu negara tidak sejalan dengan
kepentingan negara lain dan itu vital, maka ia akan berusaha untuk memecahkan
masalah ini melalui bargaining “take and give” untuk mencapai kesesuaian. Jika
ketidakcocokan tujuan itu sangat vital dan bisa menghambat kepentingan nasional
utama salah satu negara maka pemecahan kompromi melalui cara damai bisa
gagal. Untuk mengamankan kepentingan
nasional masing-masing, pihak yang berselisih tersebut mungkin mempertimbangkan
politik konfrontasi.
Secara
universal diakui bahwa tujuan diplomasi yang baik adalah untuk memilih cara
yang tepat untuk mencapai tujuan. Seperti telah disebutkan di depan, tiga cara
dasar diplomasi adalah kerja sama, penyesesuaian serta penentangan. Juga
umumnya diterima bahwa pencapaian tujuan melalui sarana damai lebih disukai dan
tidak ada diplomasi yang menekankan pada penentangan, ancaman, atau penggunaan
kekuatan yang dianggap baik dan ideal dikarenakan tidak ada perang yang bisa
selalu diramalkan hasilnya dan bahkan peperangan yang berhasil pun bisa membawa
suatu bangsa ke titik kelelahan. Oleh karena itulah para penulis India Kuno
memberikan penekanan khusus pada pemilihan danda
atau penggunaan kekuatan sebagai sarana terakhir setelah semua tindakan
diplomasi gagal. Tetapi sekali lagi hal ini tidak boleh dianggap bahwa
penggunaan kekuatan merupakan suatu alat diplomasi yang penting. Ini karena
tidak ada diplomasi yang gagal dalam perundingan dan pemecahan damai bisa
disebut sebagai diplomasi yang baik
dan sukses. Oleh karena itu hakikat diplomasi yang sukses adalah kemampuan
menempatkan penekanan yang benar pada setiap keadaan tertentu pada satu atau
lebih instrumen diplomasi termasuk penggunaan kekuatan. Selain itu memang
merupakan kenyataan yang diterima bahwa “negotiation from strenght” merupakan
anjuran yang benar, tanpa kekuatan militer pendukung, tidak satu negara pun
yang bisa menghindari tekanan atas kepentingan vitalnya.
Aksioma
“when diplomacy stops, war starts” adalah pernyataan yang tidak benar.
Bargaining yang dalam masa damai disebut diplomasi tidak berakhir ketika perang
dimulai. Hanya karakternya yang berubah. Tetapi perang bukan dengan sendirinya
merupakan alternatif bagi negosiasi; ia merupakan bargaining yang dilakukan
dengan kekerasan. Dalam hubungan ini harus diingat bahwa kapan pun negosiasi
damai dilaksanakan, power berdiri dibelakang “siap siaga”, bila mana dibutuhkan
dibawa ke front depan untuk dijadikan sebagai ancaman dan ancaman ternyata
tidak efektif, ia digunakan secara terbuka. Dengan demikian ruang lingkup
diplomasi tidak berakhir dengan adanya penghentian perdamaian. Ruang lingkupnya
tetap valid meskipun selama perang hanya caranya yang berbeda.
Sumber
Buku : Roy, L, S.
1995. “Diplomasi”. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar