Kamis, 22 September 2016

Propaganda dan Diplomasi - Auriga Prabowo (2014230092)



Propaganda dan Diplomasi

Propaganda. Secara umum kata tersebut bisa berarti mempromosikan suatu ide tertentu. Dalam bahasa latin propaganda sendiri berarti  menuai atau menyebarkan. Jowett dan donell dalam buku mereka Propaganda dan Persuasi mengatakan bahwa propaganda itu berbeda apabila dalam jurnalisme propaganda dikenal sebagai proses mengolah cerita, kejadian atau berita demi menunjukan sisi baiknya dan menutup-nutup sisi buruk. Dalam politik proses propaganda lebih ke arah penyebaran dan dampak dari suatu cerita, berita atau kejadian kepada opini publik. Dalam diplomasi proses propaganda mungkin lebih kepada menyetir opini lawan kepada apa yang diinginkan oleh orang yang melakukan propaganda.
Untuk lebih lengkapnya dilihat pada buku diplomasi oleh S.L. Roy. Dalam bagian propaganda dan diplomasi ia menuliskan beberapa point-point penting seperti defenisi dari propaganda itu sendiri. Ia menuliskan penjelasan Terrance Qualter yang menjelaskan bahwa “Propaganda adalah usaha yang disengaja oleh kelompok atau individu melalui pemakaian instrumen komunikasi dengan maksud bahwa pada situasi tertentu reaksi dari mereka yang dipengaruhi adalah seperti yang diinginkan oleh propagandis.” Berdasarkan penjelasaan tersebut Roy juga menekankan pada kata “Usaha yang disengaja” sebagai kunci dari gagasan propaganda dan ia juga berpendapat bahwa hal tersebutlah yang memisahkan antara propaganda dan non-propaganda. Selain itu ia mengatakan bahwa tiap tindakan promosi hanya bisa menjadi propaganda bilamana itu menjadi bagian dari kampanye yang disengaja untuk menghasilkan aksi melalu kontrol sikap dan dari kontrol sikap itu aksi yang diinginkan oleh propagandis. Perlu adanya pengetahuan psikologi manusia demi menyampaikan propaganda yang tepat. Roy memberikan contoh ketika Woodrow Wilson berhasil menyeru rakyat Jerman untuk menyerah kepada sekutu ketika perang dunia pertama dengan cara menyebarkan teks pidato forteen point wilson di balik garis pertahanan jerman pada saat itu sehingga berhasil mendorong rakyat Jerman untuk mendesak pangeran maximillan, kanselir jerman pada saat itu untuk melakukan perundingan damai maka dari itu, namun apa bila propaganda gagal, maka hal tersebut bisa merusak hubungan negara dengan negara lainnya karena dianggap sebagai ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara seperti yang juga terjadi pada italia rakyat italia tidak bisa dipropagandakan untuk menekan perdana menteri italia pada saat itu. Roy juga mengatakan bahwa kondisi politik sudah berubah, tidak lagi hanya masyarakat elit yang terlibat dalam perpolitikan tetapi juga masyarakat umum lainnya sehingga penting propaganda untuk mempengaruhi masyarakat umum walaupun itu harus menggunakan setengah-kebohongan, ataupun kebohongan penuh.
Dari point-point yang sampaikan oleh S.L. Roy dapat dilihat gambaran mengenai propaganda dalam diplomasi dapat dilihat beberapa point yang perlu diperhatikan. Baik dalam penjelasan Qualter ataupun dari penekanan yang diberikan Roy pada statement Qualtter, “Propaganda adalah usaha yang disengaja oleh kelompok atau individu melalui pemakaian instrumen komunikasi dengan maksud bahwa pada situasi tertentu reaksi dari mereka yang dipengaruhi adalah seperti yang diinginkan oleh propagandis.” Apa bila hanya disimpulkan seperti itu maka akan sulit untuk membedakan propaganda dengan cara komunikasi lainnya seperti persuasi, jika dilihat secara umum keduannya sama-sama mencoba untuk mempengaruhi lawan bicaranya sehingga lawan bicara mau mengikuti apa yang dikatakan oleh orang yang menyampaikannya. Jowett dan Donell berpendapat melalu buku mereka yang berjudul  bahwa yang membedakan bahwa propaganda hanya bertujuan untuk memenuhi respon yang akan memuaskan kepentingan dari orang yang melakukan propaganda sedangkan  persuasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang yang melakukan persuasi dan lawan bicaranya. Sehingga dapat dilihat bahwa yang membedakannya adalah tujuan akhirnya.
Dari segi propaganda dalam diplomasi. Dari poin-poin yang dijabarkan oleh Roy, dilihat bahwa propaganda adalah proses komunikasi untuk menkontrol aksi dari lawan komunikasi sehingga lawan akan mengikuti apa yang diinginkan oleh propagandis. Jowett dan Donell juga memiliki pendapat yang hampir sama dengan roy, mereka berpendapat bahwa “Propaganda adalah proses untuk membentuk pandangan, memanipulasi arti, dan kelakuan. Dilakukan secara sistematis dan disengaja demi memenuhi maksud dari si propagandis.” Contoh yang diberikan oleh Jowett dan Donell adalah ketika Amerika melancarkan “War on terror” dalam wawancara presiden George W. Bush mengatkan bahwa perang Amerika dengan Al-Qaeda adalah suatu “Crusade” dalam maksud untuk mendapatkan memperkuat legitimasi serangan amerika serikat ke Afganistan dan Iraq di masyarakat negara-negara barat serta memperkuat semangat warganya untuk membalas serangan 9/11.Namun Negara-negara Eropa dan Komunitas Islam dunia justru menangkapnya sebagai suatu tanggapan yang mengatkaan bahwa  Bush ingin menaklukan islam, kata tersebut membuat bush langsung menarik katanya dan mengunjungi Islamic Center di Washington D.C. dengan maksud untuk menunjukan bahwa bukan itu yang ia maksud, namun Osama bin Laden melihat kata-kata bush sebagai bahan propaganda rekrutmen pasukan Al-Qaeda dan celaan kepada para Crusader dari Amerika yang pada akhirnya semakin memburukan pandangan negara-negara yang dimana memiliki mayoritas muslim. Sehingga dari contoh tersebut kembali membuktikan bahwa betul apa yang dikatakan oleh Roy bahwa apabila Propaganda tidak berhasil maka akan memberikan dampak buruk pada kredibelitas negara. Leo Bogart mantan pemimpin Asosiasi Peneliti Opini Publik Amerika Serikat mengatkan bahwa seorang propagandis harus tau apa argumen terbaik yang harus dikeluarkan kepada para audiens. Ia juga harus memiliki pemikiran yang bagus, jenius, dan bisa membaca apa yang di pikirkan audiens dan apa reaksi yang akan dikeluarkan audiens.
Sehingga dari penjabaran diatas dapat dilihat peran propaganda dalam diplomasi yaitu untuk mengendalikan atau mungkin memanipulasi lawan agar mau melakukan apa yang diinginkan oleh si propagandis. Dengan semakin berkembangnya teknologi yang memudahakan komunikasi dan semakin berkembangnya zaman, meningkatnya pengaruh aktor-aktor non-negara dalam dunia internasional semakin menunjukan betapa pentingnya untuk mengendalikan pandangan mereka.
Referensi
Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta. Rajawali.
Jowett, Garth S. & O’Donnel, Victoria. 2012. Propaganda and Persuasion. California. SAGE Publications
Heckscher, August. 1991. Woodrow Wilson. Easton Press. Norwalk.
http://www.csmonitor.com/2001/0919/p12s2-woeu.html (Diakses pada 21-09-2016, 21:34)




 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar