Kamis, 29 September 2016

Tipe-tipe Diplomasi dan Instrumen Diplomasi - Noviatin (2014230047)



Tipe-Tipe Diplomasi dan Instrumen Diplomasi


A. Instrumen Diplomasi
            Instrumen dapat dikatakan sebagai suatu alat bantu atau strategi didalam berdiplomasi. Instrumen tersebut dapat dipakai oleh sebuah negara dalam mencapai tujuan-tujuan diplomatiknya. Didalam buku S. L Roy (1991), Kautilya menjelaskan terdapat empat prinsip utama instrumen diplomasi yaitu:

  1. sama (perdamaian atau negosiasi),
  2. dana (memberi hadiah atau  konsensi)
  3.  danda (menciptakan perselisihan),
  4. bedha (mengancam atau menggunakan kekuatan nyata.

            Selain itu terdapat juga tiga model tingkah laku suatu negara dalam upaya mencapai tujuan diplomatiknya, menurut beberapa penulis barat yaitu co-operation (kerjasama) hal ini dapat dilakukan melalui sebuah negosiasi, sehingga maksud yang ingin dicapai oleh suatu negara dapat berhasil, accomodation (penyesuaian) dan opposition (penentangan) dimana metode ini bisa dikatakan sama halnya seperti bedha, yaitu adanya penentangan atau dapat berupa suatu ancaman ketika terjadi penyimpangan dari proses negosiasi yang tidak diharapkan oleh salah satu pihak. Instrumen ternyata juga dapat digunakan sebagai sarana lain bagi sejumlah negara dalam berdiplomasi demi mencapai sebuah tujuan yang diinginkan.
B.  Tipe-Tipe Diplomasi
            Didalam bukunya yang berjudul ‘Diplomasi’, S. L Roy membagi Diplomasi ke dalam beberapa tipe berdasarkan metode yang dipakai. Berikut Tipe-Tipe Diplomasi yang dapat kita kenal dan pelajari:

1.      Diplomasi Komersial
            Menurut Nicholson, Diplomasi Komersial merupakan diplomasi borjuis atau diplomasi sipil yang didasarkan pada anggapan bahwa penyelesaian kompromis antara mereka yang berselisih melalui negosiasi adalah ”pada umumnya lebih menguntungkan daripada penghancuran total musuh-musuh”. Tipe diplomasi ini merupakan tipe diplomasi yang dapat dikatakan selalu dihubungkan dengan faktor ekonomi. Karena melihat realita yang dihadapi oleh negara-negara di dunia, dimana saat ini keadaan ekonomi ataupun uang adalah salah satu kekuatan yang utama bagi negara-negara tersebut untuk mendapatkan beberapa kepentingan nasionalnya. Berdasarkan hal tersebut, negara-negara pun memilih untuk berdiplomasi dengan cara-cara yang damai dan tentunya menguntungkan dalam upaya meningkatkan sumberdayanya. Dalam tipe ini, perdagangan internasional dan bantuan internasional dikenal dan digunakan sebagai alat diplomasi yang memudahkan terutama dalam masa damai. Perekonomian menjadi penting dalam diplomasi ini karena beberapa hal, diantaranya adalah untuk menghindari penyelesaian perselisihan dengan konflik bersenjata bahkan ancaman perang nuklir, selain itu juga karena dampak dari Perang Dunia II yang mana negara-negara kolonial kehilangan kekuatannya dalam skala besar, beberapa hal setelah itu pada akhirnya mendorong peningkatan ketergantungan ekonomi dan yang terakhir adalah ketika adanya negara yang lemah secara ekonomi harus ditopang dengan suplai militer maupun pinjaman seperti yang dilakukan oleh Amerika dalam marshall plan-nya ketika memberikan pinjaman kepada Eropa Barat pasca Perang untuk memperkuat angkatan bersenjata sekutu-sekutunya di Eropa Barat. Oleh karena itu menurut S.L Roy, bantuan ekonomi sebagai instrumen diplomasi telah digunakan sedemikian baiknya. Untuk menghindari defisit perdagangan dan kesulitan ekonomi, suatu negara sering membuat tarif protektif serta perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral.

2.      Diplomasi Demokratis
Tipe diplomasi ini merupakan tipe baru dari ‘Diplomasi Terbuka’ yang lebih menunjukan kemajuan yang signifikan dalam penerapannya. Prinsipnya, tipe diplomasi ini dalam setiap langkah ataupun tahapan penerapannya harus dilakukan secara transparan di mata publik dan tidak hanya menjadi rahasia di tangan-tangan para diplomat saja. Nicholson dalam buku S.L roy 'Diplomasi' menerangkan teori dasar dari tipe diplomasi ini yaitu “Diplomat, sebagai abdi negara, bertanggung jawab kepada Menteri Luar Negeri; Menteri Luar Negeri sebagai anggota Kabinet bertanggung jawab kepada mayoritas Parlemen; dan Parlemen yang tiada lain sebagai Majelis Perwakilan, bertanggung jawab terhadap kehendak rakyat yang berdaulat”.
Dalam diplomasi ini, faktor terpenting yang dapat membantu terwujudnya kontrol demokratis dalam diplomasi adalah masalah ratifikasi perjanjian legislatif. Faktor tersebut pun pernah menarik perhatian masyarakat dunia yaitu saat Senat Amerika menolak untuk meratifikasi Treaty of Versailles. Padahal dalam pebentukan perjanjian tersebut, presiden Woodrow Wilson telah mengambil bagian yang sangat penting. Tetapi sayangnya pada saat ia merupakan eksponen utama dalam gagasan “perjanjian terbuka yang dicapai secara terbuka”, ia tidak melakukan perundingan secara terbuka, tetapi ia melakukannya dalam cara rahasia. Karena hal itu, Senat Amerika tidak mengetahui apa tahap negosiasi yang telah dilakukan dan diputuskan oleh Wilson. Akibatnya saat Treaty of Versailles yang di dalamnya disertakan Piagam Liga Bangsa-Bangsa, Senat menolak untuk menandatangani Treaty of Versailles tersebut. Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan apabila kekuasaan tertinggi penerimaan suatu perjanjian memang terletak pada lembaga legislatif dalam suatu negara demokratis.
Menurut Nicholson terdapat beberapa kelemahan dalam diplomasi demokratis. Pendapat yang dikemukakannya yaitu apabila pihak legislatif mengingkari persetujuan yang telah ditandatangani oleh wakil pemerintahnya,maka seluruh basis perjanjian internasional akan berada dalam bahaya; yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah anarki. Perlu dicatat juga apabila fleksibilitas adalah karakteristik utama dari diplomasi yang efektif. Bagi diplomasi yang luwes kebebasan bergerak secara maksimal merupakan faktor yang esensial. Hal tersebut menyebabkan diplomat yang terlibat dalam negosiasi perlu mempunyai dukungan penuh dari pemerintahnya dan juga ia harus yakin bahwa tiap persetujuan yang dimasuki akan dihormati di negerinya. Setiap keraguan atas hal ini akan mengahalangi kemungkinan keberhasilan. Menurut pendapat Nicholson, kelemahan kedua yang erat berkaitan dengan yang pertama adalah sikap masa bodoh elektorat. Dalam negara demokrasi mana pun elektorat, yang memilih anggota legislatif, mempunyai posisi penting dalam struktur kenegaraan.
Diplomasi tipe ini pun hampir tidak bisa dihindarkan dari bahaya penundaan. Karena melibatkan pendapat dan penilaian publik, tidak diragukan lagi jika diperlukannya waktu yang lebih banyak untuk memperkirakan pendapat umum atau mempengaruhi publik agar menyetujui kebijakan pemerintah. Selain sisi negatif tersebut, diplomasi tipe ini juga tentunya memiliki sisi positif, yaitu meskipun harus melalui rentang waktu yang cukup lama, penundaan pemikiran maupun perundingan yang teliti, suatu penyelesaian yang dicapai diharapkan dapat berlangsung selamanya. Selain bahaya yang telah disebutkan tersebut, terdapat pula bahaya ketidaktepatan. Dalam artian bahwa keragu-raguan dan gampang berubahnya kebijaksanaan demokratis adalah beberapa sifat buruk yang dapat dikatakan cukup menonjol. Suatu tendensi sering terlihat di semua negara-negara demokrasi yaitu mereka lebih menyukai hal yang sifatnya samar-samar dan menghibur daripada definisi yang tepat dan mengikat. Namun disamping itu semua, diplomasi demokratis jika dilakukan dengan baik akan meredakan ketegangan internasional yang terjadi di dunia modern ini.

3.      Demokrasi Totaliter
Negara totaliter mempunyai kecenderungan yang tetap terhadap pencapaian politik luar negeri dan hubungan diplomatiknya tersebut. sikap yang ditunjukan oleh negara yang menggunakan diplomasi jenis ini adalah agresif dalam menghadapi targetnya. Ciri-ciri diplomasi totaliter:
a.       Pembuatan keputusan tidak dibawah pengawasan rakyat, dalam hal ini sekelompok orang dapat mengambil keputusan akhir dalam waktu yang singkat.
b.      Diplomat dilibatkan dalam perundingan tetapi harus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh atasannya.
c.       Keputusan dapat ditetapkan oleh segelintir orang tanpa debat legislative, serta adanya jaminan kerahasiaan.

4.      Diplomasi Melalui Konferensi
Sejak Perang Dunia I diplomasi ini telah memainkan peranan penting dalam dunia hubungan internasional. Tipe diplomasi ini dapat ditandai sejak munculnya Konferensi Hague pada tahun 1899 dan 1907. Menurut Sir Maurice Hankey dalam pidatonya di tahun 1920 adalah “hampir tidak bisa diragukan lagi bahwa diplomasi melalui konferensi akan tetap bertahan”. Namun pada akhir tahun tiga puluhan, diplomasi ini mengalami kemunduran dari popularitasnya dikarenakan negara demokrasi barat menyerah kepada negara-negara fasis dalam banyak persoalan yang mencapai titik puncaknya dalam tindakan yang memalukan dengan menandatangani Treaty of Munich. Diplomasi yang dilakukan di PBB ini memiliki banyak konotasi diantaranya diplomasi multilateral yang muncul sesudah PD I dalam bentuk LBB dan setelah PD II dalam bentuk PBB. Tetapi tidak seperti badan legislatif nasional yang mana keputusan mayoritasnya mengikat secara hukum, dalam penerapan keputusan Majelis PBB ini, semuanya dilakukan dengan tidak mengikat secara hukum dan tidak bisa dipaksakan. Diplomasi ini pun pada penerapannya dapat disebut diplomasi publik karena dilakukan di depan penglihatan umum atau muka publik.

5.      Diplomasi Diam-Diam
Tipe diplomasi ini memiliki kaitan yang erat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena ini merupakan perkembangan cara-cara diplomasi di dalam PBB itu sendiri. Diplomasi diam ini dengan diplomasi publik memiliki hubungan yang saling melengkapi. Pertumbuhan dan perkembangan tipe diplomasi ini sedikit banyaknya telah dibantu oleh pengaruh sekretaris jendral PBB dalam menyelesaikan perselisihan, ditetapkannya perwakilan tetap di markas PBB, dan perkembangan kelompok dan blok-blok pertemuan. Tipe diplomasi ini mungkin hanya dapat dipraktekkan secara mulus di dalam lingkungan badan dunia seperti PBB dimana para wakil negara dapat berunding secara diam-diam tetapi tidak secara rahasia, baik secara bilateral maupun multilateral di luar pandangan publik.

6.      Diplomasi Preventif
Diplomasi ini juga merupakan diplomasi dengan teknik-teknik baru yang berkembang di PBB. Munculnya tipe ini adalah dengan wujud penjagaan perselisihan di dunia ketiga agar bersifat lokal yang terpisah atau tidak terkait dengan situasi yang penuh ancaman karena pada pasca PD II, negara-negara yang baru merdeka memiliki ketakutan jika hegemoni Amerika maupun Uni Soviet dalam perang dingin akan meluas ke wilayah mereka. Sekretaris jendral pun memiliki peranannya untuk bermain dalam diplomasi ini, seperti halnya dalam diplomasi diam-diam. Dengan adanya diplomasi preventif ini, para negara-negara baru yang perkembangannya semakin pesat di tahun lima puluhan, berharap agar kedaulatan negaranya tidak terganggu sedikitpun karena bersinggungan dengan permasalahan Blok Barat dan Blok Timur. Meskipun begitu, tetap saja diplomasi ini akan berfungsi hanya ketika negara adikuasa mengizinkan negara-negara ketiga melakukan hal tersebut. Banyak hal yang dapat dilaksanakan secara efektif dengan diplomasi ini salah satunya yaitu usaha yang dilakukan untuk melokalisasi permusuhan-permusuhan dan mengakhirinya sesegera mungkin; yang kemudian berkerja bahu membahu untuk perdamaian di masa mendatang.

7.      Diplomasi Sumberdaya
Diplomasi ini dilakukan oleh negara untuk memperoleh, dan mempertahankan bahan mentah yang langka dan penting bagi keuntungan negaranya. Karena pada dasarnya sumberdaya tersebut memiliki peran yang besar dalam perkembangan suatu negara. Sumberdaya juga dapat menjadi pemicu peroleh penguasaan suatu negara yang tidak memiliki sumberdaya seperti negara lain. Sumberdaya juga dapat menjadi pemicu konflik yang diakibatkan dari perebutan antar negara. Diplomasi Sumberdaya ini dapat dilakukan ketika suatu negara yang memiliki sumberdaya tersebut tidak bisa memanfaatkan sumberdayanya secara maksimal dengan keterbatasan kemampuan industri atau militer. Negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan negara yang lebih mumpuni dalam bidang yang tidak mereka miliki. Contohnya hal tersebut dilakukan oleh OPEC sebagai wadah kerjasama negara-negara penghasil minyak. Negara-negara Timur Tengah ini meskipun cenderung masih belum maju tetapi memiliki sumber minyak yang sangat besar. Hingga saat ini Minyak masih menjadi sumber energi utama, yang juga mampu mempengaruhi politik dunia. Sumberdaya ini pun memiliki peranan penting dalam proses diplomatik di dunia dan juga arena diplomatik itu sendiri.
Sumber:
Roy, S.L 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar